Rabu, 09 November 2016

GURU bukan Pahlawan tanpa Tanda Perlawanan




Jika sejak kecil dibangku sekolah sebagian dari kita telah mendengar bahkan menghafal hymne guru juga doktrin  bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, itu bukan berarti guru adalah super hero yang serba kecukupan tanpa kekurangan hal-hal mendasar dalam kehidupan manusia normal. Namun guru tetaplah guru yang di Bima memiliki tempat cukup terhormat. Satu satunya profesi yang melekat disebut sebelum nama pemiliknya adalah Guru : Guru Weo, Guru Heo, Guru Beko dan sebagainya. Hal itu juga bukan berarti guru juga telah ditempatkan pada kedudukan yang proporsional dewasa ini, tak jarang mereka mengalami ketidak adilan bahkan oleh pihak yang menggelarinya pahlawan tanpa tanda jasa.

Buku kumpulan puisi berukuran 14 x 24 cm dengan tebal 148 halaman ini sebagian besar isinya berupa puisi-puisi harkat seorang guru dalam realitas sesungguhnya di Negeri ini : ada curhatan guru, gejolak batin tenaga pengajar ini, keterbatasan ekonomi sang umar bakrie. Pungli-pungli yang selalu menghantui pahlawan tanpa tanda jasa ini sampai politik yang selalu memanfaatkannya. Buku yang terbit pada bulan September 2016 ini ditulis oleh seorang guru yang juga anak seorang guru dan sekarang memimpin organisasi profesi guru Serikat Guru Indonesia (SGI) di Kabupaten Bima dalam usia baru 35 tahun. Sehingga kita mahfum jika denyut nadi guru sangatlah dekat baginya.

Puisi-puisi Eka Ilham dalam buku bercover merah menyala ini saya simpulkan sebagai akumulasi suara-suara sumbang, keluh kesah dan gugatan guru yang selama ini sebenarnya kita dengar, lihat dan rasakan, namun suara itu terbentur oleh tirani bernama kekuasaan dan kebijakan, juga begitulah kebesaran jiwa seorang guru pandai menyembunyikan kesulitan pribadi agar peserta didiknya tak terbebani kebahagiaanya saat menerima pelajaran. Puisi ini juga adalah alat perjuangan yang membuktikan bahwa sesungguhnya guru adalah juga manusia biasa, sehingga guru bukan pahlawan tanpa tanda perlawanan.

Saya mengenal penulis karena satu almamater di SMPN 1 Palibelo ( SMP Teke ) dan SMUN 1 Raba Bima (SMAN 1 Kota Bima sekarang). Beliau senior satu tahun saya dan interaksi mendalam dengannya banyak terjadi saat masa transisi yang kaya imajinasi, peralihan usia anak-anak ke remaja ketika SMP. Mungkin bakat seninya saat itu belum muncul, namun ketika kuliah di Jogja beliau mendirikan Teater Rimpu yang sampai sekarang berkembang menjadi Sanggar Rimpu Yogyakarta. Tak heran memang jika dalam sehari lelaki yang berdomisili di Desa Bre Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima NTB ini bisa menulis 7 hingga 8 puisi bahkan pada tanggal 7 Juli 2016 ia sanggup menggerakkan penanya melahirkan 34 buah puisi  sekaligus ( puisi-puisi tersebut ada dihalaman 95-128 buku ini).

Selain berisi puisi “perjuangan” dan “perlawanan” guru, buku terbitan Social Movement Institute Yogyakarta ini juga berisi puisi-puisi spiritualitas dan kekinian ( bisa dilihat pada puisi berjudul : Gaza, Pokemon Go, Tuhan, Idul Fitri, Madinah, Do’a ) yang menggugah tidak hanya jiwa guru yang membacanya namun orang biasa sekalipun akan larut dalam pilihan-pilihan kata yang dalam.

“ Seorang Guru bisa saja melupakan muridnya yang begitu banyak, namun seorang murid sejati tak mungkin melupakan gurunya seorangpun “ begitu goresan kalimat pesan dihalaman pertama Buku GURU itu MELAWAN yang beliau berikan pada saya 10 September 2016 yang lalu.

Cordova 03, 15.04 wita 09 November 2016
Salam Hormat Kami Pak Guru,


IWAN Wahyudi
www.iwan-wahyudi.net

#INSPIRATIONwednesday

Related Posts

GURU bukan Pahlawan tanpa Tanda Perlawanan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.