Minggu, 13 September 2015

PEREMPUAN DAN PARLEMEN ANTARA KEPENTINGAN, HARAPAN DAN RUH PERJUANGAN YANG TERLUPAKAN





“…Islam telah meninggikan derajat perempuan dan mengangkat nilai kemanusiaannya
serta menetapkannya sebagai mitra dan partner bagi laki-laki dalam kehidupan.
Perempuan adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari perempuan. Islam mengakui
hak-hak pribadi, hak-hak peradaban, dan hak-hak politik perempuan secara utuh dan sempurna.
Islam memperlakukannya sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki hak dan kewajiban,
diberi imbalan pahala bila ia menunaikan kewajiban-kewajibannya dan diberikan kepadanya
apa yang menjadi hak-haknya. Al-Qur’an dan Hadits penuh dengan nash-nash yang menegaskan
dan menjelaskan makna di atas.”
 (Hasan Al-Banna dalam Risalah An-Nisaa)

Potret Perempuan Dalam Lintasan Zaman Baru
            Sebagian orang telah bersikap permisif/berlebih-lebihan dalam menyikapi keikutsertaan wanita dalam masalah-masalah politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur bebas dengan laki-laki di tempat umum tanpa ada batas serta membuka aurat  sehingga keluar dari aturan-aturan dan norma ketimuran yang senantiasa menjiwai karakter bangsa ini sesungguhnya. Inilah sikap orang-orang sekular pada masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yg disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil 'Isyrin (jahiliyyah abad-20).
            Sementara sebagian kelompok lainnya bersikap overprotektif/berkurang-kurangan atau meminimalisir dalam menyikapi para wanita, sehingga seolah-olah dunia ini hanyalah milik para laki-laki sementara para wanita harus berdiam di rumah, tidak boleh beraktifitas ke luar rumah dan hanya boleh bertemu laki-laki asing 3 kali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan 'aqiqah-nya), saat ia akan menikah & saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat (ekstremis), yg menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah (neo-tekstualis).
            Gambaran wanita dalam potret zaman baru yang sedang kita lintasi ini sangat memprihatinkan, sebagian telah terjerumus atau sengaja dijerumuskan dengan berbagai kepentingan sehingga sangat jauh dari tatanan peradaban yang senantiasa menempatkan kaum hawa pada tempat yang terhormat seperti yang dijamin dalam kaidah setiap agama.
            Potret ini ternyata tidak hanya terjadi pada negeri besar bernama Indonesia saja tapi ternyata telah mengglobal dan seakan merupakn sebuah skenario besar yang sedang dimainkan. Penyebab utama memburuknya kondisi wanita adalah tingginya angka perceraian. Angka perceraian di AS meningkat dengan tajam semenjak tahun 1960-an. Jumlah anak yang dibesarkan pada keluarga yang dikepalai wanita telah mencapai 50% pada tahun 1980-an. Perceraian dengan beban pengasuhan anak-anak, telah menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak wanita.
            Sementara itu kekerasan terhadap wanita juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap delapan detik. Pergaulan bebas dan keengganan menikah, menyebabkan tingginya angka perkosaan wanita, yaitu enam menit sekali (Kompas, 4 September 1995).
            Permasalahan terbesar yang dihadapi negara Asia-Afrika adalah kemiskinan.  Dalam keadaan seperto ini, mau tidak mau wanita ikut menanggung beban.  Data menunjukkan, dari penduduk yang miskin, 70 persennya adalah wanita (Kompas, 4 September 1995).
            Kemiskinan telah mendorong wanita-wanita Thailand, termasuk gadis-gadis di bawah umur menjual diri di bursa seks kelas bawah dengan tarif hanya sekitar 4500 rupiah (Republika, 16 November 1995).  Begitu juga wanita-wanita di Philipina, antara tahun 1987-1992, sekitar 261.527 orang wanita, umumnya berusia belasan tahun, memasuki Jepang sebagai wanita penghibur (Kompas, 23 Januari 1995).
            Kemiskinan juga bertaburan di Bangladesh, Srilanka, India, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Afrika.  35 anggota berbagai organisasi dari 11 negara Asia, yang memberikan perhatian besar terhadap wanita, menyatakan bahwa disparitas yang makin besar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah membuat banyak negara dan manusia terjungkal dalam kemiskinan.  Program penyesuaian struktural yang dipaksakan Bank Dunia dan IMF kepada negara-negara pengutang terbesar justru membuat orang miskin menjadi bertambah miskin.  Kemiskinan dan berkurangnya pekerjaan produktif dengan gaji cukup di negara asal tenaga kerja, telah memaksa laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak, bermigrasi ke luar negeri.  Saat ini terdapat sedikitnya 12 juta pekerja migran dari Asia, separuh diantaranya perempuan, dan jumlahnya terus bertambah (Kompas, 11 Februari 1995).

Kamar Kecil Politik Untuk Perempuan
            Kesimpulan yang diambil delegasi 27 negara yang hadir dalam sebuah konferensi perempuan tahun 1994 lalu menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun kebidang politik, masih rendah. Hal ini disebabkan perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik yakni adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan. Konferensi yang dihadiri para perempuan politisi dan akademisi serta organisasi swadaya itu bertujuan mencari solusi bagaimana caranya meningkatkan peranan perempuan dalam bidang politik, bidang yang secara tradisional dikuasaii kaum laki-laki.
            Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita dari Bangladesh, Rounaq Johan mengatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang beroleh jabatan anggota kabinet (menteri) hanya 4%. Di Asia, tercatat hanya 6 perempuan yang (pernah) berhasil merebut posisi kepala negara, yakni Indira Gandhi di India, Sirimaaro Bandaranaike di Srilangka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaleda Zia di Banglades, Corazon Aquino di Filipins dan Megawati Soekarno Putri di Indonesia
            Arbi Sanit menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini mengungkapkan data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982.
            Data tahun 1993 mengenai posisi (politik) strategis di indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas. Misalnya Dari 22 duta besar, Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon I dan II departemen, wanitanya hanya 5,5 %.
            Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik.
            Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah. Dengan demikian apakah Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan kurang efektif menjalankan fungsinya ? Namun aspirasi mereka ini ditentang oleh 60 orang responden (57,7%). Alasan mereka dengan mendepartemenkan Pemberdayaan Peranan Perempuan  berarti adalah (1) karena banyak urusan sudah ditangani oleh departemen lain secara terpisah; (2) non departemen sudah cukup karena tuntutannya memang hanya memberikan arah kebijakan saja; (3) bukan prioritas untuk mengatasi diskriminasi terhadap wanita.
            Roekmini Soejono melihat bahwa kecenderungan wanita-wanita yang terjun dalam bidang politik belum sepenuhnya memberikan akses untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita. Hal ini disebabkan karena para wanita terjebak dengan budaya politik yang berlaku disamping hanya mementingkan masalah peranannya.

Kursi Parlemen dan Perempuan
            Litbang Republika telah mengadakan penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik wanita. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan wanita dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia.
            Kedudukan mereka dalam badan legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak tahu Konvensi PBB tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasinya.
            Hal serupa terjadi di NTB dengan permasalahan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) terbanyak di Indonesia. Parlemen daerah di Udayana hanya memberikan Ruang kecil untuk kaum wanita, dari 55 Anggota DPRD Provinsi NTB hanya terdapat 3 orang perampuan yaitu : Dra. Endang Yuliati (PDIP), Istiningsih, S.Ag (PKS) dan Hj. Lale Suryatni Marzuki (Golkar).
            Kita dapat membayangkan dengan kemampuan kompetensi politik dan kuantitas yang rendah dan alat kelengkapan dewan berupa Komisi, Panmus, Panggar serta badan kehormatan. Bisakah mereka optimal memerankan fungsi merekan sebagai ujung tombak pembelaan dan memperjuangkan kepentingan perempuan Nusa Tenggara Barat? Padahal keberadaan perempuan diparlemen sangat urgen dalam memperjuangkan kaumya seperti yang telah dijamin dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Republik ini.
            Urgensi parlemen bagai perempuan seperti legislasi: terhadap pembuatan peraturang yang dapat melindungi kaum perempuan yang selama ini sangat minim bahkan selalu dilanggar dengan besar-besaran, Anggaran: Kaum perempuan parlemen dapat memperjuangkan anggaran yang memadai untuk melakukan pemberdayaan perempuan di segala dimensi kehidupan sehingga kedepan perempuan Indonesia memiliki kompetensi yang tinggi untuk memperbanyak diri di ruang parlemen, Pengawasan: Anggota legislatif perempuan dapat mengawasi kebijakan pemerintah yang senantiasa mendiskreditkan kaum perempuan yang menjadi penghuni mayoritas ibu pertiwi.

Agenda Mahasiswi Kedepan
            Kesadaran yang perlu dihadirkan dalam setiap diri perempuan bangsa ini sejak dini adalah bahwa yang akan konsisten untuk memperjuangkan kaumnya secara maksimal adalah kaum perempuan itu sendiri. Sehingga Gerakan Mahasiswi sebagai benteng aspirasi rakyat kedepan, mulai hari ini,secara khusus memiliki beberapa tujuan pokok berkenaan dengan perempuan, yaitu:
³ Mengembalikan kedudukan perempuan sebagai hamba Allah yang sederajat dengan lelaki, dan memuliakan martabatnya dengan hak dan kewajiban yang seimbang.
³ Meletakkan aturan tentang relasi lelaki dan perempuan untuk menjaga eksistensi perempuan dari eksploitasi hawa nafsu manusia dan masyarakatnya.
³ Memberikan ruang dan jalan bagi perempuan untuk menjadi unsur kekuatan perubahan  dan pelaksana perubahan  – bersama kaum lelaki - dalam mewujudkan tujuan-tujuan Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat.
Dalam konteks ini, aktualisasi peran politik perempuan dalam perubahan  bisa dirumuskan:
1.    Ikut serta melakukan penyadaran politik rakyat, dengan:
a.    Melakukan pendidikan politik dalam keluarga
b.    Melakukan aktivitas pengajaran kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban politik sebagai warga.
c.    Melakukan aktivitas pencerahan untuk mengembalikan loyalitas kebangsaan agar telepas dari intervensi asing .
2.    Ikut serta dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, dengan:
a.    Aktif memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat, khususnya kaum perempuan dari penguasa.
b.    Melakukan kritik terhadap perilaku dan kebijakan kekuasaan.
3.    Ikut serta dalam proses pembangunan kehidupan politik yang santun, dengan:
a.    Terlibat dalam pemberdayaan berbagai institusi kemasyarakatan, khususnya institusi sosial-politik.
b.    Berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis, dan menjalankan peran-peran kepemimpinan politik.
4.    Berperan aktif dalam pengelolaan opini umum yang benar, dengan:
a.    Aktif menyebarluaskan pemikiran dan pandangan politik yang sehat ke masyarakat.
b.    Aktif melakukan pencegahan opini negatif dan melakukan serangan-balik (counter) opini.
            Selain itu ada tujuh RUU yang selayaknya menjadi perhatian DPR dalam jangka pendek yang harus dikawal baik dalam tataran pembahasan hingga pengesahan dan dalam ranah aplikasi setelah di tetapkan, yaitu:

      1. RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
           Belum ada aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Aturan
           yang ada tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang. Kebutuhan
           akan peraturan mengenai hal ini semakin mendesak mengingat jumlah korban,
           terutama perempuan dan anak, yang diperdagangkan semakin bertambah dan
           modusnya pun semakin beragam. Peningkatan kasus tersebut semakin tajam
           setelah krisis ekonomi dan dalam berbagai wilayah di Indonesia yang terkena
           bencana alam.

      2. RUU Pornografi dan Pornoaksi
           Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai isu
           kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai pornografi sangat signifikan
           berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi akibat akses yang sangat
           terbuka bagi produk pornografi, terutama bagi anak-anak, serta produk-produk
           pornografi yang mengandung unsur kekerasan dan perendahan martabat
           perempuan. Dampaknya, munculnya kekerasan seksual terhadap perempuan       dan anak seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan.                         Selain itu permasalahan pornografi juga perlu dilihat dari segi kepentingan bisnis      para produsen dan distributor produk pornografi. Perempuan dan anak-anak             yang terlibat dalam pornografi harus ditempatkan sebagai korban, dan bukannya
           pelaku yang dikriminalisasi. Hak-hak mereka perlu dilindungi sesuai dengan
           Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Perdagangan Orang dan
           Eksploitasi Pelacuran.


      3. RUU Perlindungan Saksi
           Belum ada aturan khusus mengenai perlindungan saksi, termasuk perempuan                   dan anak yang menjadi saksi korban. Mereka merupakan target kekerasan atau             balas dendam dari si pelaku. Perlindungan tersebut diantaranya adalah memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma, ruang tunggu khusus dan hak        khusus bersaksi lewat teleconference karena kondisinya yang tidak mampu          bersaksi di Pengadilan. Akibat dari ketiadaan aturan mengenai ini, seringkali             kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat diproses secara         tuntas.

      4. Amandemen UU Kesehatan
           UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 belum mengatur pelayanan kesehatan
           reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan.       Hal ini berdampak bagi rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang- undangan yang ada juga belum melindungi hak reproduksi perempuan, misalnya          perempuan yang menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami/pasangannya.

      5. Amandemen UU Perkawinan
           Beberapa permasalahan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
           Melegitimasi subordinasi suami terhadap istri. Tidak ada pengakuan terhadap         fakta dalam masyarakat yaitu terhadap para istri yang secara nyata menjalankan   peran sebagai kepala rumah tangga. Dampaknya, pembatasan peluang           perempuan terhadap akses sumber daya ekonomi dan sosial. Subordinasi ini        juga mempersulit posisi istri untuk keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah        tangga. Memberikan batas usia nikah bagi perempuan yang terlalu dini, yaitu 16    tahun. Ini menjadi salah satu penyebab tingkat kematian ibu karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
           Masih mengakui hak istimewa suami untuk menikahi lebih dari satu perempuan,    di mana alasan-alasan yang mendasarinya justru merupakan bentuk        penelantaran terhadap istri (yang sakit berat atau tidak mampu memberikan             keturunan). Ini juga menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan dalam     rumah tangga terhadap istri dan anak-anak.
           Hanya mengakui hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan           dengan pihak ibu saja, tidak dengan pihak ayah. Akibatnya, hak anak untuk        memperoleh pengasuhan dari kedua orangtuanya dan dalam memperoleh warisan serta akta kelahiran tidak
           terpenuhi. Tidak mengatur secara tegas kewajiban suami atau pihak pengadilan     untuk memberikan nafkah bagi istri dan anak-anak setelah perceraian.
          
      6. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
           Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur aspek  pidana, hukum acara, pencegahan, perlindungan serta kompensasi korban yang  secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan  anak. Selain itu, mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas  persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup semua bentuk kekerasan yang  dialami perempuan.

      7. RUU Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian
           Aturan mengenai kewarganegaraan dan keimigrasian yang ada belum memenuhi
           hak-hak perempuan dan anak, terutama pada perkawinan yang dilakukan antara
           laki-laki dan perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Aturan
           yang ada masih mendiskriminasikan hak-hak perempuan dan anak hasil
           perkawinan antar bangsa untuk memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk
           berkumpul sebagai keluarga, misalnya hanya pihak bapak yang melakukan
           penentuan kewarganegaran anak, istri/ibu WNA harus disponsori oleh suaminya
           agar memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan bila
           disponsori oleh suaminya ia tidak boleh bekerja, dll.

            Selain itu dalam Renstrada NTB Tahun 2003 - 2008 memuat program-program dan kegiatan pokok yang memiliki daya ungkit tinggi dalam pencapaian tujuan pembangunan untuk mengatasi tiga isu strategis, yaitu:
a.  Peningkatan penanggulangan kemiskinan;
b.   Peningkatan derajat kesehatan;            
c.   Peningkatan kualitas pendidikan;
            Kemudian dijabarkan menjadi beberapa isu strategis :
      Rendahnya Pendapatan Per Kapita dan Rendahnya Akses ke Sumber Modal;
      Rendahnya Rata-Rata Tingkat Pendidikan Penduduk;
      Rendahnya Derajat Kesehatan Masyarakat;
      Lemahnya Komunikasi dan Interaksi Sosial;
      Belum Optimalnya Pemanfaatan dan Pengelolaan SDA dan LH;
      Lemahnya Penegakan Hukum;
      Lemahnya Penerapan Iptek Termasuk Akses, Kualitas Maupun Sistem Informasi;
      Penyelenggaraan Pemerintahan Kurang Berorientasi Pelayanan Publik;
      Lemahnya Komunikasi dan Kordinasi Internal Pemerintah Provinsi Maupun Antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota   


IWAN Wahyudi*
* Staff Departemen Kajian dan Strategi KAMMI Daerah NTB, Ketua BEM Unram 2004-2005
Disampaikan dalam Kajian Populer “Peranan Perempuan Dalam Mengusung Perubahan” BEM Universitas Mataram
Aula PKM Unram, 6 Oktober 2006
 

Related Posts

PEREMPUAN DAN PARLEMEN ANTARA KEPENTINGAN, HARAPAN DAN RUH PERJUANGAN YANG TERLUPAKAN
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.