Jika sejak kecil dibangku sekolah sebagian dari kita telah
mendengar bahkan menghafal hymne guru juga doktrin bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
itu bukan berarti guru adalah super hero yang serba kecukupan tanpa kekurangan
hal-hal mendasar dalam kehidupan manusia normal. Namun guru tetaplah guru yang
di Bima memiliki tempat cukup terhormat. Satu satunya profesi yang melekat
disebut sebelum nama pemiliknya adalah Guru : Guru Weo, Guru Heo, Guru Beko dan
sebagainya. Hal itu juga bukan berarti guru juga telah ditempatkan pada
kedudukan yang proporsional dewasa ini, tak jarang mereka mengalami ketidak
adilan bahkan oleh pihak yang menggelarinya pahlawan tanpa tanda jasa.
Buku kumpulan puisi berukuran 14 x 24 cm dengan tebal 148
halaman ini sebagian besar isinya berupa puisi-puisi harkat seorang guru dalam
realitas sesungguhnya di Negeri ini : ada curhatan guru, gejolak batin tenaga
pengajar ini, keterbatasan ekonomi sang umar bakrie. Pungli-pungli yang selalu
menghantui pahlawan tanpa tanda jasa ini sampai politik yang selalu
memanfaatkannya. Buku yang terbit pada bulan September 2016 ini ditulis oleh
seorang guru yang juga anak seorang guru dan sekarang memimpin organisasi
profesi guru Serikat Guru Indonesia (SGI) di Kabupaten Bima dalam usia baru 35
tahun. Sehingga kita mahfum jika denyut nadi guru sangatlah dekat baginya.
Puisi-puisi Eka Ilham dalam buku bercover merah menyala ini
saya simpulkan sebagai akumulasi suara-suara sumbang, keluh kesah dan gugatan guru
yang selama ini sebenarnya kita dengar, lihat dan rasakan, namun suara itu
terbentur oleh tirani bernama kekuasaan dan kebijakan, juga begitulah kebesaran
jiwa seorang guru pandai menyembunyikan kesulitan pribadi agar peserta didiknya
tak terbebani kebahagiaanya saat menerima pelajaran. Puisi ini juga adalah alat
perjuangan yang membuktikan bahwa sesungguhnya guru adalah juga manusia biasa,
sehingga guru bukan pahlawan tanpa tanda perlawanan.
Saya mengenal penulis karena satu almamater di SMPN 1 Palibelo
( SMP Teke ) dan SMUN 1 Raba Bima (SMAN 1 Kota Bima sekarang). Beliau senior
satu tahun saya dan interaksi mendalam dengannya banyak terjadi saat masa
transisi yang kaya imajinasi, peralihan usia anak-anak ke remaja ketika SMP.
Mungkin bakat seninya saat itu belum muncul, namun ketika kuliah di Jogja
beliau mendirikan Teater Rimpu yang sampai sekarang berkembang menjadi Sanggar
Rimpu Yogyakarta. Tak heran memang jika dalam sehari lelaki yang berdomisili di
Desa Bre Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima NTB ini bisa menulis 7 hingga 8
puisi bahkan pada tanggal 7 Juli 2016 ia sanggup menggerakkan penanya
melahirkan 34 buah puisi sekaligus (
puisi-puisi tersebut ada dihalaman 95-128 buku ini).
Selain berisi puisi “perjuangan” dan “perlawanan” guru, buku
terbitan Social Movement Institute Yogyakarta ini juga berisi puisi-puisi
spiritualitas dan kekinian ( bisa dilihat pada puisi berjudul : Gaza, Pokemon
Go, Tuhan, Idul Fitri, Madinah, Do’a ) yang menggugah tidak hanya jiwa guru
yang membacanya namun orang biasa sekalipun akan larut dalam pilihan-pilihan
kata yang dalam.
“ Seorang Guru bisa saja melupakan muridnya yang begitu
banyak, namun seorang murid sejati tak mungkin melupakan gurunya seorangpun “
begitu goresan kalimat pesan dihalaman pertama Buku GURU itu MELAWAN yang
beliau berikan pada saya 10 September 2016 yang lalu.
Cordova 03, 15.04
wita 09 November 2016
Salam Hormat Kami
Pak Guru,
IWAN Wahyudi
www.iwan-wahyudi.net
#INSPIRATIONwednesday
GURU bukan Pahlawan tanpa Tanda Perlawanan
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net