Setiap muslim bisa memilih, sejauh mana Ia perankan
kualitas berIslamnya. Pilihan itu ibarat anak-anak tangga. Yang menapak ke
atas, lalu tinggi menjulang. Sangat tinggi sekali, bahkan serasa tanpa batas.
Maka ada yang merasa cukup berdiri di tangga terbawah. Tapi, ada yang tak puas
dan ingin terus menaiki tangga-tangga keislaman dan keimanan itu. Dengan
dorongan jiwa yang besar, tak ada kamus “istirahat” bagi orang-orang yang
seperti itu. Mereka sadar, militansi – dalam maknanya yang benar– adalah harga
mati untuk surga yang mahal.
Wacana tentang militansi dalam
beragama sebenarnya bukan hal baru. Apalagi asing. Dalam Islam, militansi
beragama artinya seorang muslim mengamalkan ajaran agamanya dengan taat, benar,
sepenuh hati, dan totalitas. Karenanya, wajar dan bahkan biasa-biasa saja bila
seorang muslim menjalankan agamanya secara militan.
Memang, banyak orang mengartikan
militansi sebagai sikap ekstrim, mengerikan, bahkan identik dengan terorisme.
Tapi arti yang salah itu sengaja disebarkan oleh musuh-musuh Islam. Tak heran
bila sosok teroris dan penjahat dalam film-film Amerika, seringkali diperankan
oleh orang berjenggot atau bersurban.
Alternatif-alternatif Militansi
Seharusnya setiap muslim terbiasa
dengan militansi yang dituntut Islam. Sebab, Islam hanya menuntut militansi
sesuai kemampuan setiap orang. Atau dalam bahasa Al-Qur’annya, “Sesungguhnya Allah tidak membebani setiap
jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” Artinya, seberapa ke mampuan maksimal
kita dalam menjalankan Islam, sebatas itu pula tuntutan militansi dari diri
kita. Atau dalam firman-Nya yang lain, “Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuan kamu.”
Kemampuan maksimal antara satu orang
dengan orang lain berbeda. Dampaknya, tingkat berIslam orang berbeda-beda.
Demikian juga iman dan takwa mereka. Allah swt berfirman, “Setiap orang beramal sesuai dengan syakilahnya”. Perbedaan itu
banyak sebabnya. Bisa karena kecerdasaan mereka berbeda, tingkat pendidikan
berbeda, status sosial yang berbeda, atau kemampuan bawaan lahir yang juga
berbeda. Tapi, karena Islam ditujukan untuk semua jenis orang, maka setiap
orang —apapun bentuknya, jenis, warna kulit, dan tingkat kecerdasannya— bisa
masuk Islam dan beragama secara militan sesuai kemampuannya.
Pada masa Rasulullah pun, tingkat
berislam orang berbeda-beda. Tetapi mereka —kecuali orang-orang munafik— tetap
mengacu kepada militansi pada masing-masing tingkatan berislam itu. Ada cara
berislam gaya Badui. Maksudnya, seperti kisah orang Badui yang bertanya kepada
Rasulullah, “Apa itu Islam?” Rasulullah
menjawab dengan rukun Islam yang lima. Lalu orang Badui itu bertanya lagi.
“Apakah ada yang lainnya?” Rasulullah menjelaskan bahwa tidak ada, kecuali bila
ia mau menambahi dengan amal-amal sunnah. Maka, orang badui itu bersumpah tidak
akan menambahi dan tidak akan mengurangi.
Cara berislam seperti gaya Badui ini
tidak salah. Karena memang seperti itu pilihan dia. Tetapi, perlu diketahui,
bahwa si Badui itu tetap mengacu kepada militansi, sesuai dengan tingkatan
dirinya. Karenanya, ia berkata, bahwa ia “tidak
akan mengurangi dari (rukun Islam) yang lima itu”. ltulah batas minimal
militansi Badui itu. Sementara batas maksimalnya, ia tidak akan menambahi yang
lima itu. Barangkali, militansi itu pula yang kemudian mendasari komentar
Rasulullah, “Sungguh, ia akan beruntung
dan masuk surga bila ia benar.”
Namun, ada juga cara berislam gaya
Haritsah, seorang sahabat Rasul yang agung. Seperti ditulis Al-Kandahlawy dalam
Hayatu Shahabah (111/262). Suatu pagi Rasulullah bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” “Pagi
ini aku dalam keadaan benar-benar beriman,” jawab Haritsah mantap.
Rasulullah bertanya lagi, “Wahai
Haritsah, setiap kebenaran itu mempunyai tanda, lalu apa tanda kebenaran
imanmu?” Haritsah menjawab, “Sungguh
diriku telah menjauh dari keduniaan. Hingga di mataku tak ada bedanya antara
emas dan tanah. Sebaliknya, aku seolah olah menyaksikan para penghuni surga
sedang bersuka ria, dan para penghuni neraka sedang menderita didera siksa.
Bahkan aku merasa begitu dekatnya ‘Arsy (singgasana Allah), seakan tampak jelas
dihadapanku. Karena itu aku rela “begadang” (tahajjud) di malam-malamku dan
“berlapar-lapar” (puasa) di siang hariku.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah
berkata, “Wahai Haritsah, engkau telah
tahu, maka teguhlah engkau dan istiqamahlah.” Lalu, Rasul menegaskan bahwa
Allah telah menyinarkan cahaya iman ke hatinya. Namun Haritsah masih belum
puas. Karenanya ia meminta, “Ya Rosulullah, berdo’alah untukku supaya Allah
memberiku syahid.” Rosul mendo’akan. Dan, pada perang Badar, ia termasuk orang
pertama yang syahid.
Dua kisah di atas, sama-sama
menggambarkan militansi. Yang satu militansi kelas Badui, yang kedua kelas
Haritsah. Keduanya mengisyaratkan, bahwa masalahnya bukan bagaimana pilihan
berislam kita. Tetapi sejauh mana militansi dari pilihan itu. Sebab pilihan itu
kembali kepada sejauh mana kemampuan maksimal kita. Artinya, bila kemampuan
berislam kita sekelas Badui itu, tak Jadi soal asal militan seperti dia. Sebaliknya,
bila kemampuan berislam kita bisa meniru Haritsah, maka di jalan itu pula
militansi itu kita kejar. Dan, puncak dari militansi Haritsah adalah rindu
bertemu Allah melalui jalan syahid di jalan-Nya.
Lalu, apakah berarti kita bebas
memilih cara apa saja dalam berislam? Memang, ada amal-amal minimal yang
menjadikan seseorang berstatus muslim. Tetapi, apakah kita cukup puas dengan
yang minimal itu? Bukankan surga Allah juga luas dan bertingkat-tingkat? Kenapa
tidak mengejar surga yang paling tinggi? Bila bisa di atas Badui, kenapa tidak
di atasnya. Bahkan, bila sekelas Haritsah, kenapa mengambil kelas Badui?
Tidakkah setiap muslim terus meningkatkan cara berislam itu dengan tetap
menjaga militansinya? Bukankah Allah telah berfirman, “Dialah yang menciptakan
mati dan hidup, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya.” (QS
AJ-Hasyr:..)
Tangga-tangga militansi itu setiap
saat harus kita kejar. Sampai tak ada lagi tangga untuk kita, meski mungkin ada
untuk orang lain. Seperti kisah orang-orang miskin di Madinah. Mereka mengadu
kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah.
Alangkah enaknya orang-orang kaya di antara kami. Mereka shalat seperti kami,
berjihad seperti kami, mendapat pahala seperti kami. Tapi, mereka bisa
berinfak. Sementara kami tidak bisa.”
Rasulullah menjawab, “Maukah kamu aku beritahu amalan yang bisa
menyamai mereka.” “Tentu,” jawab mereka. “Bacalah Tasbih (Subhanallah), Tahmid (Alhamdulillah), Takbir (Allahu
akbar) sebanyak tiga puluh tiga kali selesai shalat.
Begitulah, orang-orang miskin itu
masih menemukan tangga baru bagi militansi beragama mereka. Namun, rupanya orang-orang
kaya di Madinah mendengar amalan itu. Akhirnya mereka juga membaca wirid
tersebut. Orang-orang miskin itu kembali mengadu kepada Rasulullah. Apa jawab
Rasulullah? “Kalau begitu, ya itulah
karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Ia kehendaki.”
Kita harus memilih cara berislam yang
paling baik, mengejar militansi sekuat mungkin. Sampai kita yakin, bahwa tangga
militansi untuk kita sudah mentok. Karena takdir kita sampai di situ. Karena
karunia Allah untuk kita sampai di situ, seperti kisah orang-orang miskin
Madinah itu.
Jejak
Militansi Sahabat
Adalah fakta bahwa para sahabat
dimenangkan Allah karena militansi mereka. Meski bukan mereka berarti
mengabaikan kekuatan materil atau fisik.berikut jejak militansi sahabat.
1. Jagalah kemurnian dan orientasi
perjuangan hanya karena Allah.
2. Kuatkan komitmen untuk selalu
mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
3. Bersihkan jiwa dari segala penyakit.
4. Bersikaplah juhud terhadap dunia.
5. Putuskan segala ikatan jahiliyah yang
berlawanan dengan akidah Islam
6. Mendahulukan kepentingan persatuan
sesama kaum muslimin diatas segalanya.
7. Senantiasalah merasa kurang dalam
berbuat kebaikan
8. Wakafkan hidup diatas jalan dakwah
9. Yakinlah terhadap kemenangan yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
10. Pelihara hak-hak berukhuwah dan saling
membela terhadap kepentingan kaum muslimin.
Istiqomah
Setiap muslim yang telah
berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus
senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya
dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan
nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam
realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang
yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam
seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu mengimplementasikannya
belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqomah
dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya. Maka istiqomah
dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi
hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan
surgaNya. Rasulullah saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:
"قاربوا وسد د وا واعلموا أنه لن ينجو أحد منكم بعمله"، قالوا: ولا أنت
يا رسول الله؟ قال: "ولا أنا إلا أن يتغمد ني الله برحمة منه وفضل" رواه
مسلم
“Rasulullah saw bersabda: “Berlaku
moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorangpun dari
kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya: “Dan juga kamu Ya …
Rasulullah, Beliau bersabda: “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja
Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu
Hurairah)
Istiqomah
bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqomah ini
juga diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban
dunia, yaitu para Nabi dan Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;
“Maka
tetaplah (istiqomahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS
11:112)
Apa itu
Istiqomah ?
Istiqomah
bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar
kata istiqomah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi,
istiqomah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqomah diartikan sebagai
sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Secara
terminologi, istiqomah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;
-Abu Bakar
As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqomah ia menjawab; bahwa istiqomah
adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan
siapapun)
-Umar bin
Khattab ra berkata: “Istiqomah adalah komitment terhadap perintah dan
larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang”
-Utsman bin
Affan ra berkata: “Istiqomah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
-Ali bin Abu
Thalib ra berkata: “Istiqomah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
-Al-Hasan
berkata: “Istiqomah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksitan”
-Mujahid
berkata: “Istiqomah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu
dengan Allah swt”
-Ibnu Taimiah
berkata: “Mereka beristiqomah dalam mencintai dan beribadah kepadaNya tanpa
menengok kiri kanan”
Jadi muslim yang beristiqomah
adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan aqidahnya dalam situasi
dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran
ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami
futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam
menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan
dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang
sesungguhnya, selalu istiqomah dalam sepanjang jalan dan di seluruh
tahapan-tahapan dakwah.
Faktor-Faktor
Yang Melahirkan Istiqomah
Ibnu Qoyyim dalam
“Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan
istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;
-Beramal dan melakukan optimalisasi
“Dan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu
pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan
supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS
22:78)
-Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan
menyia-nyiakan
“Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)
Rasulullah
saw bersabda kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash: “Wahai Abdullah bin Amr, sesungguhnya setiap
orang yang beramal memeliki puncaknya dan setiap puncak akan menglami kefuturan
(keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada Sunnah,
maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada
bid’ah, maka ia akan merugi”(HR Imam Ahmad dari sahabat anshor)
-Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu
pengetahuannya
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS
17:36)
-Ikhlas
“Padahal mereka tidak disuruh
melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.”
(QS 98:5)
-Mengikuti Sunnah,
Rasulullah saw bersabda: “Siapa
diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat
perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para
Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud
dari Al-Irbadl bin Sariah).Imam Sufyan berkata: “Tidak diterima suatu
perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal
kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila
sesuai dengan sunnah.”
Agar Kita Setegar Orang-Orang Shalih
Bila langkah kita salah, kita sendirilah yang akan
bertanggung jawab. Jika karya kita buruk, kita sendirilah yang akan dihisab.
Saat perut ini serakah, kita sendirilah yang akan memuntahkannya kelak di
akhirat. Kalau kita lengah, kita sendirilah yang akan meratapinya
nanti dihari kiamat.
Itulah yang sejak dulu dipahami
orang-orang shalih, yang pernah singgah dan berjaya dimuka bumi ini dengan
keshalihannya. Kepada mereka kita sampaikan do’a dan penghormatan lalu
bertekadlah bulat-bulat, bagaimana agar kita setegar mereka.
Orang-orang shalih juga punya
agenda dakwah yang padat. Bahkan kesibukkan dakwah orang-orang shalih itu
kadang tidak lagi dari pena kepena. Atau dari majelis lisan ke majelis lisan
lainnya. Tidak sekedar kedesa tetangga, tetapi keberbagai belahan bumi.
Berhiaskan kilatan pedang, dinginnya malam, jauh dari sanak keluarga, dalam
bayang-bayang kematian yang nampak lebih jelas.
Keshalihan bisa dimiliki siapa
saja. Asal ada usaha sungguh-sungguh dan do’a yang tulus. “Dan mereka yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”(QS. Al-Ankabut : 69)
maka, pancangkan semangat dan keyakinan, bahwa kita bisa menjadi orang-orang
shalih.
Siapa yang Layak mendapat Pertolongan Allah
SWT
?
Mari mendekat
Kepada Allah
Lebih dekat
Agar tunduk disaat
yang lain Angkuh
Agar teguh dikala
yang lain Runtuh
Agar tegar biarpun
yang lain Terlempar
Pernahkah anda merasa begitu gundah ? kehilangan arah
kemana langkah harus diayunkan ? lalu tiba-tiba segalanya menjadi kacau ?
Hampir
semua orang pernah mengakami masa-maas sulit itu. Ibarat air laut, hidup ini
kadang pasang naik, kadang pasang surut. Ibarat samudera luas, kadang
gelombangnya bergulung-gulung, kadang ia berubah sangat tenang. Seperti juga
roda yang selalu berputar, kadang hidup kita diatas, lain itu berpindah
kebawah.
Bisa jadi kita menganggap itu
semua hanya rutinitas belaka. Ya, itu hanya rutinitas takberarti bila kita
tidak bisa mencari arti dibalik semua itu. Itu hanya mekanisme alam, yang tak
menyimpan rahasia apa-apa, bila kita tidak mencari tahu rahasianya apa.
Lalu. Apa arti dan rahasia dari
semua itu ? Banyak sekali. Yang paling mendasar diantaranya, bahwa dibalik
rutinitas itu ada hubungan istimewa antara kita dengan Allah. Antara hamba dan
sang pencipta-Nya. Yaitu bahwa kita sangat lemah dan Allah sangat Maha Perkasa.
Bahwa kita memerlukan pertolongan Allah, sedangkan Allah tidak perlu sedikitpun
kepada kebaikan kita “Dan manusia telah
diciptakan dalam kedaan yang lemah”.”Dan apakah mereka tidak memperhatikan
bahwa sesungguhnya Allah melpangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman “
(QS. Ar-Rum :37).
Begeraklah,
Karena Diam Bisa Mematikan
Kita tidak boleh berhenti bergerak, kecuali sekedar
jenak-jenak yang kita perlukan untuk mengambil bekal dan istirahat. Hidup ini akan terus
berdenyut, dengan atau tanpa kita. Terlalu tragis untuk tergilas dinamika
hidup, lantaran kita memilih terlalu banyak diam. Banyak ragam dan ruang gerak untuk
kita, sebagai muslim, sebagai da’i, sebagai pemuda, sebagai Mahasiswa, sebagai
Aktivis Dakwah Kampus, sebagai pengawai, pengusaha, politikus atau sebagai apa
saja. Berdenyutlah, bergeraklah, agar kita tidak mati sebelum waktunya.
“Sebesar-besar keuntungan didunia adalah
menyibukkan dirimu setiap waktu pada aktivitas yang akan memberikan manfaat
paling banyak dihari akhir. Menyai-nyiakan waktu lebih berbahaya dari pada
kematian: karena menyia-nyiakan waktu dapat memutuskan mu dari Allah dan hari
akhir, sedangkan kematian memutuskanmu dari dunia dan penghuninya” (Ibnu Qayyim
Al- Jauziah).
Dibalik segala
kemajuan, kesuksesan dan kejayaan selalu tersimpan banyak rahasia, salah satu
rahasia itu adalah peran orang-orang yang tak berhenti bergerak, menyambung
satu kerja dengan kerja lainnya.
“Tidak ada satu tarikkan nafaspun yang kau
hembuskan, melainkan ada takdir yang dijalankan-Nya, pada dirimu. Karena itu,
tunduklah pada Allah dalam setiap keadaan” (Ibnu Athaillah As Sakandari).
Hidup ini memang perlu
keberanian. Tetapi, keberanian seorang mukmin terlebih dulu dengan iman dan
amalnya, sebelum dengan bentuk-bentuk kekuatan lainnya. Siapa yang mendekat
kepada Allah sejengkal, Allah akan mendekat kepadanya sehasta, siapa yamg
menuju Allah dengan berjalan, Allah akan mendekat kepadanya dengan lebih cepat
dari sekedar berjalan. Demikian seterusnya.
Dimalam-malam dimana tidak ada
lagi suara, ketika segala yang bergerak menjadi diam. Ketika hati jauh dari
hiruk-pikuk kehidupan yang congkak. Itu adalah sa’at-sa’at terindah untuk
bersimpuh kepada Allah, sa’at yang tepat untuk mendidik jiwa kepuncak
kejujurannya, bahwa ternyata kita bukan apa-apa. Bahkan tidak bisa memberi
jaminan apa-apa bagi detik-detik kehidupan kita berikutnya. Kini, sa’atnya kita
kembali kepada tuntunan Allah, dengan iman dan amal shalih, sebaik dan sebanyak
yang kita bisa.
Perjuangan tidak mengenal batas.
Apa saja yang kita berikan untuk kebaikan adalah perjuangan, perjuangan adalah
nafas dan naluri kehidupan setiap hari. Kita memang harus
berjuang, karena disanalah habitat kemanusiaan dan kemusliman kita. Karena
disanalah tempat kita menabung, untuk dipanen anak cucu kita sebagai amal
jariyah, atau kita panen sendiri di akhirat kelak sebagai amal kebaikan.
Sumber : Beberapa
Edisi Majalah Tarbawi
IWAN Wahyudi**
MENAPAKI JALAN DAKWAH DENGAN MILITANSI DAN ISTIQOMAH
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net