Minggu, 13 September 2015

MENAPAKI JALAN DAKWAH DENGAN MILITANSI DAN ISTIQOMAH



Setiap muslim bisa memilih, sejauh mana Ia perankan kualitas berIslamnya. Pilihan itu ibarat anak-anak tangga. Yang menapak ke atas, lalu tinggi menjulang. Sangat tinggi sekali, bahkan serasa tanpa batas. Maka ada yang merasa cukup berdiri di tangga terbawah. Tapi, ada yang tak puas dan ingin terus menaiki tangga-tangga keislaman dan keimanan itu. Dengan dorongan jiwa yang besar, tak ada kamus “istirahat” bagi orang-orang yang seperti itu. Mereka sadar, militansi – dalam maknanya yang benar– adalah harga mati untuk surga yang mahal.


Wacana tentang militansi dalam beragama sebenarnya bukan hal baru. Apalagi asing. Dalam Islam, militansi beragama artinya seorang muslim mengamalkan ajaran agamanya dengan taat, benar, sepenuh hati, dan totalitas. Karenanya, wajar dan bahkan biasa-biasa saja bila seorang muslim menjalankan agamanya secara militan.

Memang, banyak orang mengartikan militansi sebagai sikap ekstrim, mengerikan, bahkan identik dengan terorisme. Tapi arti yang salah itu sengaja disebarkan oleh musuh-musuh Islam. Tak heran bila sosok teroris dan penjahat dalam film-film Amerika, seringkali diperankan oleh orang berjenggot atau bersurban.

Alternatif-alternatif  Militansi
Seharusnya setiap muslim terbiasa dengan militansi yang dituntut Islam. Sebab, Islam hanya menuntut militansi sesuai kemampuan setiap orang. Atau dalam bahasa Al-Qur’annya, “Sesungguhnya Allah tidak membebani setiap jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” Artinya, seberapa ke mampuan maksimal kita dalam menjalankan Islam, sebatas itu pula tuntutan militansi dari diri kita. Atau dalam firman-Nya yang lain, “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuan kamu.”

Kemampuan maksimal antara satu orang dengan orang lain berbeda. Dampaknya, tingkat berIslam orang berbeda-beda. Demikian juga iman dan takwa mereka. Allah swt berfirman, “Setiap orang beramal sesuai dengan syakilahnya”. Perbedaan itu banyak sebabnya. Bisa karena kecerdasaan mereka berbeda, tingkat pendidikan berbeda, status sosial yang berbeda, atau kemampuan bawaan lahir yang juga berbeda. Tapi, karena Islam ditujukan untuk semua jenis orang, maka setiap orang —apapun bentuknya, jenis, warna kulit, dan tingkat kecerdasannya— bisa masuk Islam dan beragama secara militan sesuai kemampuannya.

Pada masa Rasulullah pun, tingkat berislam orang berbeda-beda. Tetapi mereka —kecuali orang-orang munafik— tetap mengacu kepada militansi pada masing-masing tingkatan berislam itu. Ada cara berislam gaya Badui. Maksudnya, seperti kisah orang Badui yang bertanya kepada Rasulullah, “Apa itu Islam?” Rasulullah menjawab dengan rukun Islam yang lima. Lalu orang Badui itu bertanya lagi. “Apakah ada yang lainnya?” Rasulullah menjelaskan bahwa tidak ada, kecuali bila ia mau menambahi dengan amal-amal sunnah. Maka, orang badui itu bersumpah tidak akan menambahi dan tidak akan mengurangi.

Cara berislam seperti gaya Badui ini tidak salah. Karena memang seperti itu pilihan dia. Tetapi, perlu diketahui, bahwa si Badui itu tetap mengacu kepada militansi, sesuai dengan tingkatan dirinya. Karenanya, ia berkata, bahwa ia “tidak akan mengurangi dari (rukun Islam) yang lima itu”. ltulah batas minimal militansi Badui itu. Sementara batas maksimalnya, ia tidak akan menambahi yang lima itu. Barangkali, militansi itu pula yang kemudian mendasari komentar Rasulullah, “Sungguh, ia akan beruntung dan masuk surga bila ia benar.”

Namun, ada juga cara berislam gaya Haritsah, seorang sahabat Rasul yang agung. Seperti ditulis Al-Kandahlawy dalam Hayatu Shahabah (111/262). Suatu pagi Rasulullah bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”  “Pagi ini aku dalam keadaan benar-benar beriman,” jawab Haritsah mantap. Rasulullah bertanya lagi, “Wahai Haritsah, setiap kebenaran itu mempunyai tanda, lalu apa tanda kebenaran imanmu?” Haritsah menjawab, “Sungguh diriku telah menjauh dari keduniaan. Hingga di mataku tak ada bedanya antara emas dan tanah. Sebaliknya, aku seolah olah menyaksikan para penghuni surga sedang bersuka ria, dan para penghuni neraka sedang menderita didera siksa. Bahkan aku merasa begitu dekatnya ‘Arsy (singgasana Allah), seakan tampak jelas dihadapanku. Karena itu aku rela “begadang” (tahajjud) di malam-malamku dan “berlapar-lapar” (puasa) di siang hariku.”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah berkata, “Wahai Haritsah, engkau telah tahu, maka teguhlah engkau dan istiqamahlah.” Lalu, Rasul menegaskan bahwa Allah telah menyinarkan cahaya iman ke hatinya. Namun Haritsah masih belum puas. Karenanya ia meminta, “Ya Rosulullah, berdo’alah untukku supaya Allah memberiku syahid.” Rosul mendo’akan. Dan, pada perang Badar, ia termasuk orang pertama yang syahid.

Dua kisah di atas, sama-sama menggambarkan militansi. Yang satu militansi kelas Badui, yang kedua kelas Haritsah. Keduanya mengisyaratkan, bahwa masalahnya bukan bagaimana pilihan berislam kita. Tetapi sejauh mana militansi dari pilihan itu. Sebab pilihan itu kembali kepada sejauh mana kemampuan maksimal kita. Artinya, bila kemampuan berislam kita sekelas Badui itu, tak Jadi soal asal militan seperti dia. Sebaliknya, bila kemampuan berislam kita bisa meniru Haritsah, maka di jalan itu pula militansi itu kita kejar. Dan, puncak dari militansi Haritsah adalah rindu bertemu Allah melalui jalan syahid di jalan-Nya.

Lalu, apakah berarti kita bebas memilih cara apa saja dalam berislam? Memang, ada amal-amal minimal yang menjadikan seseorang berstatus muslim. Tetapi, apakah kita cukup puas dengan yang minimal itu? Bukankan surga Allah juga luas dan bertingkat-tingkat? Kenapa tidak mengejar surga yang paling tinggi? Bila bisa di atas Badui, kenapa tidak di atasnya. Bahkan, bila sekelas Haritsah, kenapa mengambil kelas Badui? Tidakkah setiap muslim terus meningkatkan cara berislam itu dengan tetap menjaga militansinya? Bukankah Allah telah berfirman, “Dialah yang menciptakan mati dan hidup, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya.” (QS AJ-Hasyr:..)

Tangga-tangga militansi itu setiap saat harus kita kejar. Sampai tak ada lagi tangga untuk kita, meski mungkin ada untuk orang lain. Seperti kisah orang-orang miskin di Madinah. Mereka mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah. Alangkah enaknya orang-orang kaya di antara kami. Mereka shalat seperti kami, berjihad seperti kami, mendapat pahala seperti kami. Tapi, mereka bisa berinfak. Sementara kami tidak bisa.”

Rasulullah menjawab, “Maukah kamu aku beritahu amalan yang bisa menyamai mereka.” “Tentu,” jawab mereka. “Bacalah Tasbih (Subhanallah), Tahmid (Alhamdulillah), Takbir (Allahu akbar) sebanyak tiga puluh tiga kali selesai shalat.

Begitulah, orang-orang miskin itu masih menemukan tangga baru bagi militansi beragama mereka. Namun, rupanya orang-orang kaya di Madinah mendengar amalan itu. Akhirnya mereka juga membaca wirid tersebut. Orang-orang miskin itu kembali mengadu kepada Rasulullah. Apa jawab Rasulullah? “Kalau begitu, ya itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Ia kehendaki.”

Kita harus memilih cara berislam yang paling baik, mengejar militansi sekuat mungkin. Sampai kita yakin, bahwa tangga militansi untuk kita sudah mentok. Karena takdir kita sampai di situ. Karena karunia Allah untuk kita sampai di situ, seperti kisah orang-orang miskin Madinah itu.

Jejak Militansi Sahabat
Adalah fakta bahwa para sahabat dimenangkan Allah karena militansi mereka. Meski bukan mereka berarti mengabaikan kekuatan materil atau fisik.berikut jejak militansi sahabat.
1.     Jagalah kemurnian dan orientasi perjuangan hanya karena Allah.
2.     Kuatkan komitmen untuk selalu mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
3.     Bersihkan jiwa dari segala penyakit.
4.     Bersikaplah juhud terhadap dunia.
5.     Putuskan segala ikatan jahiliyah yang berlawanan dengan akidah Islam
6.     Mendahulukan kepentingan persatuan sesama kaum muslimin diatas segalanya.
7.     Senantiasalah merasa kurang dalam berbuat kebaikan
8.     Wakafkan hidup diatas  jalan dakwah
9.     Yakinlah terhadap kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
10.   Pelihara hak-hak berukhuwah dan saling membela terhadap kepentingan kaum muslimin.

Istiqomah
                Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqomah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya. Maka istiqomah dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan surgaNya. Rasulullah saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: "قاربوا وسد د وا واعلموا أنه لن ينجو أحد منكم بعمله"، قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: "ولا أنا إلا أن يتغمد ني الله برحمة منه وفضل" رواه مسلم
“Rasulullah saw bersabda: “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya: “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda: “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

                Istiqomah bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqomah ini juga diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu para Nabi dan Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;
                “Maka tetaplah (istiqomahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)

Apa itu Istiqomah ?
                Istiqomah bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqomah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqomah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqomah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Secara terminologi, istiqomah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;
-Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqomah ia menjawab; bahwa istiqomah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapapun) 
-Umar bin Khattab ra berkata: “Istiqomah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan musang”
-Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqomah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
-Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqomah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
-Al-Hasan berkata: “Istiqomah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksitan”
-Mujahid berkata: “Istiqomah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt”
-Ibnu Taimiah berkata: “Mereka beristiqomah dalam mencintai dan beribadah kepadaNya tanpa menengok kiri kanan”

                Jadi muslim yang beristiqomah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan aqidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqomah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan dakwah. 

Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqomah
Ibnu Qoyyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;

-Beramal dan melakukan optimalisasi
                “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.  (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS 22:78)

-Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan
                “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)
                Rasulullah saw bersabda kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash:  “Wahai Abdullah bin Amr, sesungguhnya setiap orang yang beramal memeliki puncaknya dan setiap puncak akan menglami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada Sunnah, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada bid’ah, maka ia akan merugi”(HR Imam Ahmad dari sahabat anshor)  

-Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya
                “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.” (QS 17:36)

-Ikhlas
                “Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan)  agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS 98:5)
 
-Mengikuti Sunnah,
                Rasulullah saw bersabda: “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud dari Al-Irbadl bin Sariah).Imam Sufyan berkata: “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

Agar Kita Setegar Orang-Orang Shalih
                Bila langkah kita salah, kita sendirilah yang akan bertanggung jawab. Jika karya kita buruk, kita sendirilah yang akan dihisab. Saat perut ini serakah, kita sendirilah yang akan memuntahkannya kelak di akhirat. Kalau kita lengah, kita sendirilah yang akan meratapinya nanti dihari kiamat.

                Itulah yang sejak dulu dipahami orang-orang shalih, yang pernah singgah dan berjaya dimuka bumi ini dengan keshalihannya. Kepada mereka kita sampaikan do’a dan penghormatan lalu bertekadlah bulat-bulat, bagaimana agar kita setegar mereka.

                Orang-orang shalih juga punya agenda dakwah yang padat. Bahkan kesibukkan dakwah orang-orang shalih itu kadang tidak lagi dari pena kepena. Atau dari majelis lisan ke majelis lisan lainnya. Tidak sekedar kedesa tetangga, tetapi keberbagai belahan bumi. Berhiaskan kilatan pedang, dinginnya malam, jauh dari sanak keluarga, dalam bayang-bayang kematian yang nampak lebih jelas.

                Keshalihan bisa dimiliki siapa saja. Asal ada usaha sungguh-sungguh dan do’a yang tulus. “Dan mereka yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”(QS. Al-Ankabut : 69) maka, pancangkan semangat dan keyakinan, bahwa kita bisa menjadi orang-orang shalih.

Siapa yang Layak mendapat Pertolongan Allah SWT ?
Mari mendekat
Kepada Allah
Lebih dekat
Agar tunduk disaat yang lain Angkuh
Agar teguh dikala yang lain Runtuh
Agar tegar biarpun yang lain Terlempar
                 
Pernahkah anda merasa begitu gundah ? kehilangan arah kemana langkah harus diayunkan ? lalu tiba-tiba segalanya menjadi kacau ?

                Hampir semua orang pernah mengakami masa-maas sulit itu. Ibarat air laut, hidup ini kadang pasang naik, kadang pasang surut. Ibarat samudera luas, kadang gelombangnya bergulung-gulung, kadang ia berubah sangat tenang. Seperti juga roda yang selalu berputar, kadang hidup kita diatas, lain itu berpindah kebawah.

                Bisa jadi kita menganggap itu semua hanya rutinitas belaka. Ya, itu hanya rutinitas takberarti bila kita tidak bisa mencari arti dibalik semua itu. Itu hanya mekanisme alam, yang tak menyimpan rahasia apa-apa, bila kita tidak mencari tahu rahasianya apa.

                Lalu. Apa arti dan rahasia dari semua itu ? Banyak sekali. Yang paling mendasar diantaranya, bahwa dibalik rutinitas itu ada hubungan istimewa antara kita dengan Allah. Antara hamba dan sang pencipta-Nya. Yaitu bahwa kita sangat lemah dan Allah sangat Maha Perkasa. Bahwa kita memerlukan pertolongan Allah, sedangkan Allah tidak perlu sedikitpun kepada kebaikan kita “Dan manusia telah diciptakan dalam kedaan yang lemah”.”Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melpangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman “ (QS. Ar-Rum :37).

Begeraklah,  Karena Diam Bisa Mematikan
                Kita tidak boleh berhenti bergerak, kecuali sekedar jenak-jenak yang kita perlukan untuk mengambil bekal dan istirahat. Hidup ini akan terus berdenyut, dengan atau tanpa kita. Terlalu tragis untuk tergilas dinamika hidup, lantaran kita memilih terlalu banyak diam. Banyak ragam dan ruang gerak untuk kita, sebagai muslim, sebagai da’i, sebagai pemuda, sebagai Mahasiswa, sebagai Aktivis Dakwah Kampus, sebagai pengawai, pengusaha, politikus atau sebagai apa saja. Berdenyutlah, bergeraklah, agar kita tidak mati sebelum waktunya.

                “Sebesar-besar keuntungan didunia adalah menyibukkan dirimu setiap waktu pada aktivitas yang akan memberikan manfaat paling banyak dihari akhir. Menyai-nyiakan waktu lebih berbahaya dari pada kematian: karena menyia-nyiakan waktu dapat memutuskan mu dari Allah dan hari akhir, sedangkan kematian memutuskanmu dari dunia dan penghuninya” (Ibnu Qayyim Al- Jauziah).

                Dibalik segala kemajuan, kesuksesan dan kejayaan selalu tersimpan banyak rahasia, salah satu rahasia itu adalah peran orang-orang yang tak berhenti bergerak, menyambung satu kerja dengan kerja lainnya.

                “Tidak ada satu tarikkan nafaspun yang kau hembuskan, melainkan ada takdir yang dijalankan-Nya, pada dirimu. Karena itu, tunduklah pada Allah dalam setiap keadaan” (Ibnu Athaillah As Sakandari).

                Hidup ini memang perlu keberanian. Tetapi, keberanian seorang mukmin terlebih dulu dengan iman dan amalnya, sebelum dengan bentuk-bentuk kekuatan lainnya. Siapa yang mendekat kepada Allah sejengkal, Allah akan mendekat kepadanya sehasta, siapa yamg menuju Allah dengan berjalan, Allah akan mendekat kepadanya dengan lebih cepat dari sekedar berjalan. Demikian seterusnya.

                Dimalam-malam dimana tidak ada lagi suara, ketika segala yang bergerak menjadi diam. Ketika hati jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang congkak. Itu adalah sa’at-sa’at terindah untuk bersimpuh kepada Allah, sa’at yang tepat untuk mendidik jiwa kepuncak kejujurannya, bahwa ternyata kita bukan apa-apa. Bahkan tidak bisa memberi jaminan apa-apa bagi detik-detik kehidupan kita berikutnya. Kini, sa’atnya kita kembali kepada tuntunan Allah, dengan iman dan amal shalih, sebaik dan sebanyak yang kita bisa.

                Perjuangan tidak mengenal batas. Apa saja yang kita berikan untuk kebaikan adalah perjuangan, perjuangan adalah nafas dan naluri kehidupan setiap hari. Kita memang harus berjuang, karena disanalah habitat kemanusiaan dan kemusliman kita. Karena disanalah tempat kita menabung, untuk dipanen anak cucu kita sebagai amal jariyah, atau kita panen sendiri di akhirat kelak sebagai amal kebaikan.

Sumber : Beberapa Edisi Majalah Tarbawi 
IWAN Wahyudi**

* Disampaikan dalam “Temu Kader dan Halal Bihalal KSI Al-Israa’ FP Unram”,

  Ahad 12 Nopember 2006 di Mushalla Al-Israa’ FP Unram.
               ** Ketua KS Al-Israa’ FP Unram 2001-2002, Ketua KAMMI Komisariat Unram 2005-2006
 

Related Posts

MENAPAKI JALAN DAKWAH DENGAN MILITANSI DAN ISTIQOMAH
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.