Iwan Wahyudi *
Tanggal 5 Oktober 2009, genap 64 tahun usia Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Sebuah institusi yang tidak dapat dipisahkan dari pasang surutnya bangsa
ini sejak masa kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, masa revolusi dan
pembangunan bangsa yang penuh dengan dinamika sehingga memerlukan kodisi stabilitas
kebangsaan. Hampir dalam tahapan penting bangsa ini TNI memiliki peran yang
tidak dapat dipandang sebelah mata karena tugas pokoknya untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari segala gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun serangan dari
luar negara Indonesia.
Dalam waktu yang bersamaan dengan 64
tahun usianya berarti juga 11 tahun upaya reformasi TNI dilakukan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi segala bidang yang didorong
oleh gerakan mahasiswa sejak tahun 1998. Reformasi TNI adalah upaya untuk
mengembalikan TNI pada fungsi awal yaitu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang,
tentara nasional dan tentara professional akibat pemanfaatan TNI oleh orde baru
untuk melanggengkan kekuasaan sehingga menyeret TNI untuk masuk dalam wilayah
politik.
TNI selama Kekuasaan Orde Baru
Selama
zaman orde baru peranan TNI sangat kuat dalam pemerintahan dan politik dengan
menggunakan paradigma dwi fungsi ABRI yaitu ABRI sebagai Fungsi pertahanan dan
ABRI sebagai fungsi politik.
Puncak
penyalahgunaan TNI oleh penguasa terjadi pada pemilu 1997 dimana membawa
kembali Soeharto menjadi presiden yang kemudian dilengserkan oleh mahasiswa dan
rakyat dengan reformasi 1998. Seperti diketahui bersama sistem politik yang
berlaku saat itu menjadikan presiden Soeharto yang akan diusulkan untuk menjadi
presiden kembali mempunyai kekuasaan yang amat besar. Sebagai ketua dewan
pembina Golkar dan sebagai presiden, Soeharto mengendalikan fraksi Golkar dan
fraksi ABRI di DPR maupun fraksi Golkar, fraksi ABRI dan fraksi Utusan Daerah di
MPR melalui seorang Koordinator Keluarga Besar Golkar dan beberapa orang
koordinator harian pengganti. Dengan demikian di DPR Soeharto dapat
mengendalikan 400 kursi atau sebesar 80 persen yang terdiri dari 325 kursi
Fraksi Golkar dan 75 kursi fraksi ABRI. Dan di MPR mengendalikan 829 kursi atau
sebasar 83 persen yang terdiri dari 576
kursi fraksi Golkar, 113 kursi fraksi ABRI dan 149 kursi fraksi Utusan Daerah.
TNI
selama orde baru juga digunakan untuk mengamankan kekuasaan dengan dijadikan
sebagai alat pemukul untuk setiap masyarakat yang tidak sejalan dengan
kebijakan orde baru seperti operasi militer DOM Aceh, tragedi tanjung priok,
talang sari, tragedi 27 Juli 1996 dan sejenisnya dimana TNI menjadi ”pembunuh”
rakyat yang menjadi tempatnya lahir dan berasal.
Reformasi
TNI mencakup empat paradigma baru, yaitu mengubah posisi dan metode tidak harus
selalu di depan, mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi, mengubah
cara mempengaruhi dari langsung menjadi tidak langsung, dan TNI bersedia
melakukan rule sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintah-an) dengan komponen bangsa lainnya. Realisasi reformasi
TNI diperlihatkan dengan pemisahan diri Polisi dari ABRI tahun 1999,
dihasilkannya UU nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara yang
substan-sinya diantaranya mengatur peran TNI sebagai alat pertahanan negara, perubahan
nama ABRI menjadi TNI, penghapusan struktur organisasi sospol di lingkungan
TNI, penghapusan kekaryaan TNI, pengurangan jumlah anggota fraksi di DPR
kemudian diikuti dengan penghapusan fraksi TNI di legislatif pada tahun 2004, keluarnya
UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang diantaranya mengatur pemberhentian dan
pengangkatan Panglima TNI oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan DPR,
dan Panglima TNI dapat dipilih bergantian dari perwira aktif setiap angkatan
yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Reformasi internal TNI harus
terus dilakukan, menuju Postur TNI yang Solid, Profesional, Tangguh, Modern,
Berwawasan Kebangsaan, Mencintai dan dicintai rakyat.
Postur Kekuatan TNI
Ketika membicarakan postur TNI
yang ideal tentunya kita harus membandingkan antara kekuatan TNI dengan jumlah
penduduk Indonesia dan luas wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia yang
menjadi teritorial TNI dalam menjalankan tugas pertahanannya.
Kondisi kekuatan personel TNI yang menjalakan fungsi pertahanan puluhan ribu pulau nusantara hingga saat ini mencapai
383.870 orang (0,17%) dari 220 juta penduduk Indonesia, yang terdiri dari
298.517 orang TNI Angkatan Darat, 60.963 orang TNI Angkatan Laut, 28.390 orang
TNI Angkatan Udara, dan 68.647 PNS TNI. Jumlah kekuatan personil TNI tersebut jika
dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia masih belum seimbang.
Kekuatan Alutsista (alat
utama sistem pertahanan) TNI Angkatan Darat sebagian besar masih bertumpu pada
aset lama yang meliputi 1.261 unit Ranpur, namun yang siap operasi 799 unit,
59.842 unit Ranmor namun yang siap operasi 52.165 unit, 538.469 pucuk senjata
dengan berbagai jenis yang siap operasi 392.431 pucuk. Dan pesawat terbang 53
unit dari bebagai jenis yang siap operasi 27 unit.
Kekuatan Alutsista Angkatan
Laut meliputi pertama, unsur kapal terdiri dari Striking force 18 unit,
Patrilling Force 58 unit, supporting force 67 unit, dan KAL 317 unit yang siap
operasi 76. Dua, unsur pesawat udara
terdiri dari 65 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 39. Ketiga ranpur
marinir 410 unit yang siap operasi 157 unit.
Kekuatan Alutsista Angkatan
Udara bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, pesawat helikopter, maupun
jenis pesawat lainnya serta peralatan rudal dan radar yang meliputi 234 unit
pesawat berbagai jenis dengan kondisi siap operasi 57%, radar 17 unit dengan
kondisi siap operasi 88,8%, rudal QW-3 untuk operasional Paskhas dengan kondisi
siap operasi 100%.
Sehingga kondisi TNI baik dari segi SDM maupun
sarana dan prasarana termasuk Alutsista masih jauh untuk menjadi postur
pertahanan negara yang memiliki minimum essential forces. Apalagi dengan
luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk.
Namun demikian patut
dibanggakan dengan kondisi yang jauh dari ideal TNI tidak kalah dengan tentara
negara lain yang hanya semata-mata profesional. TNI kita menjadi garda terdepan
dalam mempertahankan NKRI sesuai dengan doktrin TNI bahwa tentara kita tidak
semata-mata tentara profesional tetapi juga tentara rakyat dan tentara pejuang.
Terdapat 5 agenda utama dalam
proses reformasi TNI yaitu : Pertama,
tentang netralitas TNI dalam politik. Kedua, berkaitan dengan bisnis TNI. Ketiga,
tentang peradilan militer, keempat, berkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan prajurit dan PNS TNI beserta keluarganya dan kelima,
peningkatan profesionalitas TNI.
Kendala dan Pekerjaan Rumah Reformasi TNI
1. Tentang netralitas TNI dalam politik.
Sejak digulirkan reformasi dan
di cabutnya dwi fungsi ABRI maka keberadaan TNI dalam politik terutama dalam
keanggotaan DPR/MPR RI mulai dikurangi sejak pemilu 1999 hingga tahun 2004 TNI
sudah tidak lagi mendapat posisi menjadi politisi senayan.
Namun harus kita sadari Sistem
demokrasi yang kita bangun ternyata
masih sebatas demokrasi prosedural. Demokrasi kita baru sebatas
pembentukan institusi-institusi baru namun belum dapat mewujudkan demokrasi
yang substansial yaitu kesejahteraan rakyat (welfare state). Manajemen
konflik dari partai politik yang belum
matang mengakibatkan lemahnya posisi tawar sipil terhadap TNI. Hal ini terbukti
dengan banyaknya para purnawirawan TNI yang ikut serta dalam partai politik
untuk menjadi wakil rakyat serta calon presiden dan rakyat memilih para
purnawirawan tersebut menjadi wakil rakyat dan presiden Indonesia dalam dua pemilu
terakhir padahal menggunakan sistem pemilihan langsung.
2. Berkaitan dengan pengelolaan bisnis TNI.
TNI tidak lagi boleh
berbisnis. Hal tersebut
tertuangkan dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Pasal 76 ayat (1) yang menyebutkan : Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, Pemerintah harus
mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI
baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara dalam ayat (2)
dinyatakan, Tata cara dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1)
diatur dengan keputusan Presiden.
Bisnis yang bermula dari
perhatian pimpinan TNI yang begitu prihatin melihat kehidupan prajurit bawahan.
Negara pada saat itu bahkan saat ini masih jauh dari mampu memberikan
penghasilan yang memadai untuk menutupi kebutuhan hidup minimal setiap
prajurit.
Dalam upaya menertibkan bisnis
TNI pemerintah membentuk Tim Nasional Pengambilalihan Aktivitas Bisnis (PAB) TNI
dan telah menemukan bahwa TNI menguasai 23 yayasan yang menaungi 53 perseroan
terbatas. TNI juga
mengoperasikan 1.098 unit koperasi yang juga menggerakan 2 perseroan terbatas.
serta memanfaatkan barang milik negara yang dikelola pihak ketiga. Timnas PAB
TNI juga menemukan adanya penguasaan 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektare;
3.470 bidang tanah dan bangunan seluas 8.435,81 hektare; serta 6.699 unit
gedung seluas 37,57 hektare.
Timnas PAB TNI
merekomendasikan pengalihan aktivitas bisnis TNI dengan cara : Pertama,
penataan dan reposisi semua yayasan, termasuk koperasi dan BMN, kecuali
koperasi primer (primkop). Alasan Timnas tidak mereposisi koperasi primer
karena bidang usaha ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.
"Primer koperasi tetap dipertahankan. Timnas PAB TNI akan mengembalikan
BMN yang tidak sesuai tugas pokok dan fungsi ke Menteri Keuangan. Sedangkan BMN
yang digunakan oleh pihak ketiga harus ditertibkan mengacu pada penerimaan
negara bukan pajak (PNBP). Kedua, Timnas PAB TNI juga merekomendasikan reposisi
dan penataan bisnis militer dengan menggabungkan yayasan dan koperasi milik TNI
dengan bidang usaha sejenis di bawah Departemen Pertahanan. Kemudian akan
diberlakukan legal audit dan financial audit menyeluruh terhadap yayasan dan
koperasi milik TNI. Ketiga, primkop TNI akan digantikan dengan satuan kerja
yang dibentuk di bawah Dephan, sehingga lebih berperan memberikan pelayanan
pada prajurit. Satuan kerja ini bahkan melekat ketika pasukan berada di medan
tempur.
Lambatnya Presiden dalam
penentuan pilihan berdampak semakin tidak menentunya masa depan bisnis-bisnis
TNI dan dimungkinkanya pengalihan aset-aset bisnis tersebut secara illegal.
3. Anggaran Negara bagi TNI belum memadai
TNI sebagai alat negara yang
memiliki tugas pertahanan dengan luas wilayah Indonesia yang besar dan penduduk
melebihi 200 juta jiwa sangat tergantung pada anggaran untuk memenuhi
kelengkapan alutistanta dan peningkatan kesejahteraan keluarga yang
ditinggalkan saat bertugas apalagi dengan jatuhnya beberapa pesawat dan
helikopter TNI akhir-akhir ini selain mengurangi jumlah alutista yang dimiliki
TNI membuktikan sebagian alutista TNI sudah berusia lanjut dan membahayakan. Secara nasional anggaran pertahanan mengalami
kenaikan, namun berdasarkan rasio PDB sejak tahun 2006 terus mengalami
penurunan. Bahkan pada tahun 2008 berada pada rasio 0,79% terhadap PDB sekitar
Rp 33,678 miliar (sebagai bahan banding, negara-negara di kawasan Asia Tenggara
pada umumnya memiliki rasio lebih tinggi, anggaran pertahanan bahkan berkisar 4
% - 5 % PDB). Dari jumlah tersebut sekitar 67 % merupakan anggaran rutin
sedangkan 33% untuk pembangunan pertahanan. Konsekuensi dari rendahnya anggaran
pertahanan adalah sulitnya untuk meningkatkan performance Alusista dan
rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit.
Rendahnya tingkat anggaran TNI berdampak sulitnya membentuk prajurit TNI yang profesional yaitu prajurit
yang diberi perlengkapan dengan baik dan dicukupi kebutuhannya.
Aroma tidak sehat juga terasa
saat penerimaan perwira baru TNI. Walaupun dalam setiap pengumuman dicantumkan
tidak dipungut biaya namun dalam kenyataan aroma KKN sangat terasa bahkan
sampai pada nilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Hal yang merusak citra
TNI tersebut dilakukan oleh oknum TNI yang mungkin akibat kesejahteraannya
rendah atau rakyat tidak mengetahui bahwa tidak ada pungutan namun yang lebih
menyayat hati jika TNI dan Rakyat sama-sama mengetahui namun saling
memanfaatkan celah untuk menodai reformasi TNI yang telah berlangsung. Modus ini sulit dibuktikan karena kedua
belah pihak saling menutupi.
4. Tentang peradilan militer,
Undang-undang peradilan
militer sanagat dibutuhkan berkaitan dengan penanganan hukum prajurit dan
pimpinan yang melakukan kesalahan, karena dapat kita lihat selama TNI digunakan
untuk melanggengkan kekuasaan orde baru saja ada banyak indikasi pelanngara yang HAM yang dilakukan oleh TNI
seperti DOM Aceh, tragedi seperti tragedi Tanjung Priok, tregedi Timor Loro
Sae, tragedi Kedung Ombo, tragedi Talang Sari, tragedi Nipah, tragedi 27 Juli
1996, tragedi Semanggi dan tragedi Alas Tlogo dan lain sebagainya.
Pengawalan Undang-undang
peradilan militer bukan hanya saat pembahasan dan pengesahannya saja tetapi
yang lebih penting adalah saat penerapan. Pihak TNI pernah menolak aspirasi
yang menginginkan agar peradilan umum diterapkan bagi anggota TNI yang melakukan
tindak pidana umum. Sistem peradilan militer yang menangani tindak pidana umum
yang dilakukan oleh anggota TNI sangat tidak memadai. Baik itu aparat
penyidiknya maupun majelis hakim yang akan menyidangkan di pengadilan. Pihak TNI seolah terbebani secara
psikologis bila di diperiksa dalam sistem peradilan umum ketika melakukan
tindak pidana umum.
5. Regulasi bagi reformasi TNI yang belum
selesai.
Dua UU yang menjadi landasan
dasar reformasi TNI yaitu UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun
2002 Tentang Pertahanan telah diberlakukan namun dari keduanya membutuhkan
regulasi pendukung lainnya yang dapat mempercepat reformasi TNI dan menjadikan
reformasi TNI tidak keluar dari dasar hukum dan ruh reformasi yang diinginkan.
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 ada beberapa regulasi yang diperlukan
oleh Pemerintah yaitu pertama, ketentuan
operasional hubungan Dephan dengan TNI (Pasal 3), kedua, prosedur perbantuan
TNI kepada Polri (Pasal 7). Ketiga, peraturan pemberdayaan wilayah untuk kepentingan
pertahanan. Keempat, komponen cadangan dan pendukung pertahanan lainnya. Kelima, peraturan pemerintah tentang
kesejahteraan prajurit (Pasal 49 dan Pasal 50). Keenam, pengaturan operasional
gelar TNI (penjelasan 11). Regulasi yang
belum selesai dari UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan adalah belum membentuk Dewan Pertahanan Nasional.
Padahal dalam Pasal 75 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan agar
segala peraturan pelaksanan undang-undang TNI ditetapkan paling lambat dua
tahun sejak berlakunya undang-undang.
Pasca perhelatan demokrasi
Pemilu 2009 dan Pilpres kita berharap terjadi percepatan reformasi TNI. Namur
ada beberapa catatan penting yang harus di perhatikan terjadinya penguatan
posisi tawar para purnawirawan TNI. Saat ini banyak purnawirawan TNI yang
memenangkan kursi pemilihan legislatif. Dengan banyaknya jumlah para
purnawirawan akan sedikit banyak akan mempengaruhi apakah partai politik masih
terus mengawal dan mendesak terlaksananya reformasi TNI atau tidak. TNI masih
menggunakan model internal security dan bukan external security.
Hal ini bisa dilihat dari pengembangan postur pertahanan negara yang di buat
Departemen Pertahanan dengan Peraturan Menteri Pertahanan No PER/24/M/XII/2007.
Hal ini bisa diliat dari rencana pembentukan
Kodam baru yang akan dibentuk di
wilayah Kalimantan Barat dan Kaliamntan Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Tengah serta Irian Jaya Barat besarnya
gelar kekuatan kewilayahan membuat struktur TNI tidak akan banyak berubah.
Melemahnya pengawalan masyarakat
sipil terhadap reformasi TNI. Kejenuhan terhadap jangka waktu yang lama untuk
mengharapkan perubahan terhadap diri TNI, tentunya berdampak pada posisi yang
hopeless bagi masyarakat dan masyarakat
sipil akan semakin sulit mengkonsilidasi diri untuk terus mengawal reformasi
TNI.
Dengan demikian, sukses dan
tidaknya proses reformasi TNI ke depan, akan sangat dipengaruhi dan ditentukan pada
komitmen dan kemauan politik Presiden dan DPR untuk menuntaskannya. Tanpa itu,
jalannya reformasi TNI tidak akan dapat melangkah lebih maju, yakni pembentukan
TNI yang profesional dan modern. Selamat Dirgahayu TNI ke 64.Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan Tentara Profesional.
Iwan Wahyudi
Ketua Departemen Pengembangan Daerah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI)
Wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa
Tenggara.
Dimuat di harian bima Express 7-9 oktober
2009
CATATAN 11 TAHUN PERGULATAN REFORMASI TNI YANG BELUM TUNTAS
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net
1 komentar:
Tulis komentarWah keren nih infonya, jangan lupa mampir ke tulisan saya juga yaa https://hainuna.wordpress.com/2019/01/28/reformasi-organisasi-tni/
Reply