“ Darimu aku hanya mengenal dua
air mata, air mata rindu dan bahagia yang mengharu
Darimu aku cuma tau dua mata air,
mata air kasih sayang dan keikhlasan yang tak hilang ”
“ Sudah berhenti dulu membacanya, istirahat dulu sebentar ” . Kalimat
itu selalu terdengar saat saya asyiik membaca buku atau majalah hingga sambil
tiduran diwaktu orang lain istirahat. Itu dulu, kini kalimat itu hanya sesekali
saya dengar. Malahan kini ada kalimat baru “Istirahat dulu didepan laptopnya”,
kalimat dari suara lembut yang sangat dirindukan.
Dulu sesekali suara itu terdengar mengingatkan, jika tidak malam minggu
ya minggu pagi. Generasi Wartel (Warung Telekomunikasi untuk layanan telepon
lokal maupun interlokal) pasti tau waktu malam minggu dan minggu pagi (sebelum
jam 06.00) adalah waktu asyiik tidur dan juga jam asyiik untuk telepon karena
tarif murah sekali. Saat awal-awalnya marak telepon seluler frekuensi mendengar
nasehat rindu itu menjadi dua kali sepekan, tiap Selasa malam dan Jum’at malam
pukul 20.00 teng. Iya jam delapan malam, “bloking time” yang tidak bisa
diganggu oleh siapapun, tak lama hanya 40 detik paling lama 5 menit ibarat
mengheningkan cipta sejenak. Makin ke kinian frekuensi bloking time ibarat
minum obat dua kali sehari setiap jam 06.00 dan 20.00. Saya sadari waktu minum
obat itu tak mampu untuk membuang segala rasa rindu, ia hanya sekedar obat yang
hanya membius rasa itu sejenak dan tak mungkin bisa selamanya.
Jika kita menghitung jumlah materi seperti makan minum, menjaga diwaktu
kecil ala Baby Sister, pakaian yang melekat ditubuh, hunian tempat berteduh
maka akan mudah menemukan rumus dan angka nominal untuk mengkonversi itu semua
ke mata uang apapun yang ada dimuka bumi ini. Namun apakah sudah ada rumus
untuk mengukur dan mengkonversi nilai rasa kekhawatiran seseorang terhadap
orang yang dikasihinya?, atau berapa ukuran nilai barter materi dengan rasa
perhatian, rindu, kasih sayang dan keikhlasan yang selalu kian besar dan
menumpuk tiap waktunya?.
Ia Bait puisi yang tak pernah usai, semakin jaman mengarungi lintasan
waktu maka akan kian banyak puisi yang tercipta. Ia Kata cinta yang tak kenal
jeda, pernahkah kita melihat sejenak saja cinta itu terpisahkan darinya? Berapa
banyak janin bayi yang tak dapat menghirup udara kehidupan karena harus dipaksa
mengakhiri perkembangannya?, berapa banyak balita yang hanya bisa berhenti
menangis setelah lelah dan lemas kehabisan energi ?, berapa banyak rumah penitipan
anak juga panti asuhan serta subsidi pemerintah pada anak-anak yang harus
ditambah tiap tahunnya, padahal dengan kondisi saat ini saja hal itu masih
belum sampai pada titik bernama “mereka dipelihara oleh negara” seperti amanah
konstitusi tertinggi republik ini?
Ia Alunan doa yang tak akan punah, mungkin saat berpisah dengannya
hanya mendengar satu dua bisikan do’a ketika mencium tangan dan memeluknya.
Dibelakang kita, jika menyadari jauh lebih panjang bait do’a-do’a yang
terlantunkan. Bukan sekali atau dua saja, tapi sepanjang waktu dimana ia sempat
meminta pada-Nya, bahkan saat kita lupa mendo’akannya sekalipun.
Terima kasih Ibu,
Belaian manusia pertama dan
lantunan do’a yang tak berjeda.
Dasar hati yang lapang melebihi
samudera
Keikhlasan tak terbalas laksana matahari dan udara
Inspirasi yang tak mengenal
kata henti dan pamrih.
23122018 14:35 Lantai 1 Gedung
Mandiri
#IWANwahyudi
#MariBerbagiMakna
#InpirasiWajahNegeri
Mata Air dan Air Mata Ibu
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net