Sabtu, 22 Desember 2018

Mata Air dan Air Mata Ibu




“ Darimu aku hanya mengenal dua air mata, air mata rindu dan bahagia yang mengharu
Darimu aku cuma tau dua mata air, mata air kasih sayang dan keikhlasan yang tak hilang ”

“ Sudah berhenti dulu membacanya, istirahat dulu sebentar ” . Kalimat itu selalu terdengar saat saya asyiik membaca buku atau majalah hingga sambil tiduran diwaktu orang lain istirahat. Itu dulu, kini kalimat itu hanya sesekali saya dengar. Malahan kini ada kalimat baru “Istirahat dulu didepan laptopnya”, kalimat dari suara lembut yang sangat dirindukan.

Dulu sesekali suara itu terdengar mengingatkan, jika tidak malam minggu ya minggu pagi. Generasi Wartel (Warung Telekomunikasi untuk layanan telepon lokal maupun interlokal) pasti tau waktu malam minggu dan minggu pagi (sebelum jam 06.00) adalah waktu asyiik tidur dan juga jam asyiik untuk telepon karena tarif murah sekali. Saat awal-awalnya marak telepon seluler frekuensi mendengar nasehat rindu itu menjadi dua kali sepekan, tiap Selasa malam dan Jum’at malam pukul 20.00 teng. Iya jam delapan malam, “bloking time” yang tidak bisa diganggu oleh siapapun, tak lama hanya 40 detik paling lama 5 menit ibarat mengheningkan cipta sejenak. Makin ke kinian frekuensi bloking time ibarat minum obat dua kali sehari setiap jam 06.00 dan 20.00. Saya sadari waktu minum obat itu tak mampu untuk membuang segala rasa rindu, ia hanya sekedar obat yang hanya membius rasa itu sejenak dan tak mungkin bisa selamanya.

Jika kita menghitung jumlah materi seperti makan minum, menjaga diwaktu kecil ala Baby Sister, pakaian yang melekat ditubuh, hunian tempat berteduh maka akan mudah menemukan rumus dan angka nominal untuk mengkonversi itu semua ke mata uang apapun yang ada dimuka bumi ini. Namun apakah sudah ada rumus untuk mengukur dan mengkonversi nilai rasa kekhawatiran seseorang terhadap orang yang dikasihinya?, atau berapa ukuran nilai barter materi dengan rasa perhatian, rindu, kasih sayang dan keikhlasan yang selalu kian besar dan menumpuk tiap waktunya?.

Ia Bait puisi yang tak pernah usai, semakin jaman mengarungi lintasan waktu maka akan kian banyak puisi yang tercipta. Ia Kata cinta yang tak kenal jeda, pernahkah kita melihat sejenak saja cinta itu terpisahkan darinya? Berapa banyak janin bayi yang tak dapat menghirup udara kehidupan karena harus dipaksa mengakhiri perkembangannya?, berapa banyak balita yang hanya bisa berhenti menangis setelah lelah dan lemas kehabisan energi ?, berapa banyak rumah penitipan anak juga panti asuhan serta subsidi pemerintah pada anak-anak yang harus ditambah tiap tahunnya, padahal dengan kondisi saat ini saja hal itu masih belum sampai pada titik bernama “mereka dipelihara oleh negara” seperti amanah konstitusi tertinggi republik ini?

Ia Alunan doa yang tak akan punah, mungkin saat berpisah dengannya hanya mendengar satu dua bisikan do’a ketika mencium tangan dan memeluknya. Dibelakang kita, jika menyadari jauh lebih panjang bait do’a-do’a yang terlantunkan. Bukan sekali atau dua saja, tapi sepanjang waktu dimana ia sempat meminta pada-Nya, bahkan saat kita lupa mendo’akannya sekalipun.

Terima kasih Ibu,
Belaian manusia pertama dan lantunan do’a yang tak berjeda.
Dasar hati yang lapang melebihi samudera
Keikhlasan tak terbalas  laksana matahari dan udara
Inspirasi yang tak mengenal kata henti dan pamrih.

23122018 14:35 Lantai 1 Gedung Mandiri
#IWANwahyudi
#MariBerbagiMakna
#InpirasiWajahNegeri


Related Posts

Mata Air dan Air Mata Ibu
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.