Iwan Wahyudi
Ketua Departemen Pengembangan Daerah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara.
Dimuat di harian BimaEkspres, tanggal 25-26 September 2009
Semarak pesta demokrasi yang melanda
bangsa Indonesia mulai dari tahun 1999 dengan dilaksanakannya pemilu
pertama sejak tumbangnya rezim orde baru yang dinilai lebih demokratis
dibanding pemilu semasa orde baru, kemudian dengan perangkat
undang-undang politik yang baru tahun 2004 digelar pemilu dimana rakyat
tidak lagi membeli kucing dalam karung atas wakil rakyat yang akan
mereka pilih walaupun masih menggunakan sistem suara terbanyak dan
pemilihan presiden dengan sistem langsung
ditambah ratusan pilkada provinsi dan kabupaten/kota sepanjang 2005
sampai 2008 menambah sedikit kuat dan berharganya suara rakyat sehingga
kedaulatan ditangan rakyat tidak lagi hanya sekedar slogan pemanis ranah
politik bangsa Indonesia.
Pemilihan
langsung wakil rakyat, kepala daerah dan presiden diharapkan akan
melahirkan figur pemegang amanah yang meliki kapasitas dan kapabilitas
untuk menunaikan amanah rakyat. Namun dalam rentang waktu 2004 sampai
2009 parade kebebasan demokrasi tercoreng dengan terungkapnya kasus
korupsi,kolusi dan nepotisme yang merupakan salah satu isi dari 6 visi
reformasi yang diperjuangkan mahasiswa lebih dari 10 tahun lalu yang
dilakukan oleh wakil rakyat dan eksekutif dengan dana rakyat yang
disalah gunakan mencapai miliaran rupiah. Rupanya sumpah dan janji yang
dilakukan sesuai agama masing-masing dengan mengatas namakan Tuhan Yang
Maha Kuasa ditak lagi menggetarkan keimanan para pejabat untuk melakukan
pengkhianatan terhadap rakyat. Atau mungkin para oknum wakil rakyat dan
eksekutif berangggapan bahwa menipu Tuhan hanya diketahui oleh dirinya
dan sang pencipta dan tidak memiliki sanksi sosial namun jika menipu
rakyat akan berakibat malu bagi diri dan keluarganya serta memiliki
sanksi sosial yang tinggi ditambah dengan pidana.
Fenomena
ini menarik untuk dicermati agar rakyat pemilik sah suara dan
kedaulatan atas bangsa ini tidak di tipu lagi oleh para pemburu
kekuasaan yang tidak amanah. Akhir-akhir ini istilah kontrak politik
atau kontrak sosisal kian populer karena rakyat sudah kapok 'dikibuli'
pada setiap pemilu serta pilkada dan tak mau lagi memberi cek kosong,
janji yang tak jelas. LSM dan mahasiswalah yang mempelopori agar
pertanggung jawaban ini menjadi jelas. agar setiap wakil rakyat dan
penguasa daerah punya komitmen yang jelas dengan konstituen yang memberi
mereka amanah dalam bentuk suara.
Tidak
selamanya pelaksanaan demokrasi akan berbanding terbalik dengan angka
korupsi yang dilakukan oleh pelaku demokrasi baik subyek maupun
obyeknya. Sepanjang pelaksanaan pemilu dan pilkada pasca orde baru sudah
kita saksikan parade memalukan para pelaksana pemilu dan pilkada yaitu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan hasil Pemilu dan pilkada yaitu wakil
rakyat dan pejabat daerah yang di penjarakan karena kurang lihai
melakukan praktek korupsi karena kita menyadari masih banyak bagian dari
merekan oknum yang lebih licin yang belum terjerat.
Kondisi
legislative kita saat ini belum jauh berbeda walaupun sudah sedikit
berubah kearah lebih baik namun harus dilakukan fungsi kontrol yang
lebih ketat dan agresif. Semangat demokrasi dan reformasi malah
dimanfaatkan untuk memperkuat bargaining position legislatif
terhadap eksekutif. Atas nama jutaan rakyat, legislatif memiliki kontrol
yang kuat terhadap eksekutif. Mereka akhirnya saling tarik menarik
dalam "menggarap" APBD. Dewan meminta jatah anggaran jauh lebih banyak
dibanding sebelumnya. Penyelewengan uang rakyat bertaburan pada APBD.
Beberapa rapat pembuatan, pembahasan dan pengesahaan APBD yang
semestinya terbuka untuk umum malah tidak boleh diliput oleh media massa
apalagi oleh rakyat yang kebanyakan tidak memiliki perhatian dan
kemampuan untuk itu. Masyarakat akhirnya banyak yang tidak mengetahui
secara rinci untuk apa saja anggaran APBD itu. Hal itu karena pada
kenyataannya anggaran pembangunan masih disusun untuk mensejahterakan
eksekutif, l legislatif, ketimbang masyarakat. Misalnya anggaran
pembangunan sekolah, sarana kesehatan, program pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan pemuda dan lain-lain memiliki porsi dana yang jauh lebih
kecil dibanding anggaran rutin untuk gaji dan tunjangan, perbaikan
kantor, pembangunan rumah dinas pejabat yang semuanya merugikan rakyat.
Hal
lain yang patut dikhawatirkan adalah wakil rakyat hanya akan mewakili
komunitasnya sendiri. Undang-undang dinegara kita mengatur bahwa calon
anggota legislatif di usulan oleh partai politik peserta pemilu. Setelah
mereka terpilih biasanya yang terjadi adalah para wakil rakyat berada
diparlemen terkesan dan kenyataannya mewakili kepentingan partai dan
konstituennya saja. Ini sangat merugikan rakyat yang berada di daerah
pemilihan, bayangkan jika ada satu kecamatan hanya diwakili oleh satu
anggota dewan dari satu partai tertentu saja yang berhasil mendapatkan
kursi DPRD berarti ada lebih dari 40 konstituen partai lain yang
jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang tidak akan dilihat aspirasi dan
kebutuhannya sebagai rakyat ketika semangat sempit mewakili komunitas
dan partai pengusung yang dikedepankan.
Dalam
meningkatkan kapasitas dam kapabilitas wakil rakyat dan pempimpin
daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik perlu
dilakukan fungsi kontrol yang kuat oleh semua elemen yang berkewajiban
dan memiliki kewenangan ntuk itu. Jika legislatif memiliki fungsi
control terhadap eksekutif maka masyarakat,
gerakan mahasiswa, aktivis LSM dan kekuatan lainnya dapat melakukan
fungsi kontrol terhadap semua lembaga tersebut. Fungsi kontrol bukan
hanya dilakukan ketika sebelum mereka menduduki jabatan namun saat
mereka melaksanakan amanah rakyat lebih mendapatkan porsi yang lebih
besar. Salah satu fungsi kontrol yang dilakukan agar menjadi sebuah
gerakan yang massif adalah dengan melakukan kontrak politik atau kontrak
sosial dengan legislatife dan eksekutif.
Kontrak
sosial adalah metode gerakan mahasiswa dan rakyat untuk membangun suatu
komitmen bersama dengan pihak-pihak yang dianggap nantinya akan
memiliki peran strategis dalam menentukan nasib banyak orang. Biasanya
kontrak politik atau sosial dilakukan dengan kandidat kepala Negara atau
kepala daerah yang akan mengikuti pemilihan umum, atau bisa juga calon
anggota legislatif yang akan mewakili suara rakyat di parlemen.
Metode
ini cukup efektif untuk mengontrol kinerja orang-orang yang telah
terikat kontrak sosial dengan mahasiswa sebab masyarakat dapat menilai
sejauh mana pemimpin mereka memegang amanah sesuai janji dan komitmen
mereka pada klausul-kalusul kontrak sosial. Meskipun kontrak sosial
tidak memilki kekuatan hukum, namun ia memiliki kekuatan moral yang
dapat dijadikan sebagai senjata oleh gerakan mahasiswa dan rakyat untuk
melakukan pembunuhan karakter (character assassination).
Kontrak
politik atau kontrak sosial dapat dibuat pada saat sebelum atau setelah
wakil rakyat dan kepala daerah terpilih. Kontrak Politik dan sosial
yang dilakukan ketika sebelum pemilihan selain memiliki daya ikat yang
kuat antara calon dan masyarakat yang dijanjikan, namun pada akhir-akhir
ini cenderung digunakan untuk kepentingan politik para kandidat guna
meraih dukungan yang lebih besar. Pada pemilu 1999 dan 2004 sangat
langka pada calon wakil rakyat yang berani melakukan kontrak politik dan
kontrak sosial dengan rakyat. Namun pada pilkada yang dilakukan sejak
2005 sampai 2008 dan pemilu 2009 banyak kandidat yang tidak malu-malu
lagi untuk melakukan kontrak politik/sosial untuk meraih dukungan
rakyat. Kelemahan melakukan kontrak politik/sosial sebelum terpilih
adalah jika calon wakil rakyat dan kepala daerah yang didukung tidak
mendapatkan kemenagan maka kontrak tersebut akan gugur dengan sendirinya
sehingga suara rakyat akan sia-sia, jika mereka terpilih maka para
wakil rakyat dan kepala daerah akan mendahulukan kepentigan para
pemilihnya yang secara psikologis telah berjasa menyumbangkan suara
sehingga mengantarkan mereka mendapatkan kursi.
Dalam
politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, sehingga jangan sampai
rakyat hanya pada posisi di pihak yang menjadi penonton bahkan cenderung
hanya sekedar dimanfaatkan. Untuk menyiasati kelihaian para politisi
yang akan dan telah mendapatkan kekuasaan baik legislatif maupun
eksektutif, gerakan mahasiswa dan rakyat harus selangkah lebih maju
mengatisipasinya dengan melakukan kontrak politik dan kontrak sosial
setelah para calon anggota dewan dan kepala daerah telah berhasil
menduduki jabatan sebagai wakil rakyat dan kepala daerah. Hal ini sangat
penting agar membantu para wakil rakyat dan kepala daerah
merealisasikan janji-janji politik selama kampanye agar tidak sekedar
menjadi janji manis sesaat dalam mewujudkan Good Governance (suatu tata pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan efesian) dan Clean Government (pemerintahan yang bersih).
Kontrak
politik dan sosial yang dilakukan dapat menyangkut semua bidang
kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam bidang pemerintahan dan supremasi
hukum berupa transparansi birokrasi, pemberantasan korupsi, penegakan
supremasi hukum, penghapusan pungutan liar, pembuatan perda anti maksiat
berupa miras, judi dan penyakit masyarakat lainnya. Dalam bidang sosial
dan kesejahteraan masyarakat berupa pembuatan perda-perda yang
mempercepat kesejahteraan rakyat seperti perda zakat, pendidikan dan
kesehatan gratis dan berkualitas, menuntaskan kemiskinan, mengurangi
pengangguran, meningkatkan kesejahteraan khususnya rakyat kecil,
memperluas lapangan kerja, tidak melakukan perbuatan-perbuatan a moral
dan asusila (narkoba), sederhana dan tidak berlebihan.
KONTRAK POLITIK UNTUK PEMEGANG AMANAH RAKYAT
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net