“…Islam telah meninggikan derajat
perempuan dan mengangkat nilai kemanusiaannya
serta menetapkannya sebagai mitra
dan partner bagi laki-laki dalam kehidupan.
Perempuan
adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari perempuan. Islam
mengakui
hak-hak
pribadi, hak-hak peradaban, dan hak-hak politik perempuan secara utuh dan
sempurna.
Islam
memperlakukannya sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki hak dan kewajiban,
diberi imbalan
pahala bila ia menunaikan kewajiban-kewajibannya dan diberikan kepadanya
apa yang
menjadi hak-haknya. Al-Qur’an dan Hadits penuh dengan nash-nash yang menegaskan
dan menjelaskan
makna di atas.”
(Hasan Al-Banna dalam Risalah An-Nisaa)
Potret Perempuan Dalam Lintasan Zaman Baru
Sebagian orang telah bersikap
permisif/berlebih-lebihan dalam menyikapi keikutsertaan wanita dalam
masalah-masalah politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur bebas
dengan laki-laki di tempat umum tanpa ada batas serta membuka aurat sehingga keluar dari aturan-aturan dan norma
ketimuran yang senantiasa menjiwai karakter bangsa ini sesungguhnya. Inilah
sikap orang-orang sekular pada masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu
bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yg
disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil 'Isyrin (jahiliyyah
abad-20).
Sementara sebagian kelompok lainnya
bersikap overprotektif/berkurang-kurangan atau meminimalisir dalam menyikapi
para wanita, sehingga seolah-olah dunia ini hanyalah milik para laki-laki
sementara para wanita harus berdiam di rumah, tidak boleh beraktifitas ke luar
rumah dan hanya boleh bertemu laki-laki asing 3 kali saja seumur hidupnya,
yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan 'aqiqah-nya), saat ia akan
menikah & saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat
(ekstremis), yg menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah
(neo-tekstualis).
Gambaran wanita dalam potret zaman
baru yang sedang kita lintasi ini sangat memprihatinkan, sebagian telah
terjerumus atau sengaja dijerumuskan dengan berbagai kepentingan sehingga
sangat jauh dari tatanan peradaban yang senantiasa menempatkan kaum hawa pada
tempat yang terhormat seperti yang dijamin dalam kaidah setiap agama.
Potret ini ternyata tidak hanya
terjadi pada negeri besar bernama Indonesia saja tapi ternyata telah mengglobal
dan seakan merupakn sebuah skenario besar yang sedang dimainkan. Penyebab utama
memburuknya kondisi wanita adalah tingginya angka perceraian. Angka perceraian di AS meningkat dengan tajam semenjak tahun 1960-an.
Jumlah anak yang dibesarkan pada keluarga yang dikepalai wanita telah mencapai
50% pada tahun 1980-an. Perceraian dengan beban pengasuhan anak-anak, telah
menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak wanita.
Sementara itu kekerasan terhadap
wanita juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap delapan detik.
Pergaulan bebas dan keengganan menikah, menyebabkan tingginya angka perkosaan
wanita, yaitu enam menit sekali (Kompas, 4 September 1995).
Permasalahan terbesar yang dihadapi
negara Asia-Afrika adalah kemiskinan.
Dalam keadaan seperto ini, mau tidak mau wanita ikut menanggung
beban. Data menunjukkan, dari penduduk yang miskin, 70 persennya adalah wanita
(Kompas, 4 September 1995).
Kemiskinan telah mendorong
wanita-wanita Thailand, termasuk gadis-gadis di bawah umur menjual diri di
bursa seks kelas bawah dengan tarif hanya sekitar 4500 rupiah (Republika, 16
November 1995). Begitu juga
wanita-wanita di Philipina, antara tahun 1987-1992, sekitar 261.527 orang
wanita, umumnya berusia belasan tahun, memasuki Jepang sebagai wanita penghibur
(Kompas, 23 Januari 1995).
Kemiskinan juga bertaburan di
Bangladesh, Srilanka, India, Indonesia dan sebagian besar
negara-negara Afrika. 35 anggota
berbagai organisasi dari 11 negara Asia, yang memberikan perhatian besar
terhadap wanita, menyatakan bahwa disparitas yang makin besar dalam pembangunan
ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam
model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional
(IMF), telah membuat banyak negara dan manusia terjungkal dalam
kemiskinan. Program penyesuaian
struktural yang dipaksakan Bank Dunia dan IMF kepada negara-negara pengutang
terbesar justru membuat orang miskin menjadi bertambah miskin. Kemiskinan dan berkurangnya pekerjaan
produktif dengan gaji cukup di negara asal tenaga kerja, telah memaksa
laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak, bermigrasi ke luar negeri. Saat ini terdapat sedikitnya 12 juta pekerja
migran dari Asia, separuh diantaranya perempuan, dan jumlahnya terus bertambah
(Kompas, 11 Februari 1995).
Kamar Kecil Politik Untuk Perempuan
Kesimpulan yang diambil delegasi 27
negara yang hadir dalam sebuah konferensi perempuan tahun 1994 lalu menyatakan
bahwa akses perempuan Asia untuk terjun kebidang politik, masih rendah. Hal ini
disebabkan perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik yakni
adanya diskriminasi, kurangnya dana dan
dukungan. Konferensi yang dihadiri para perempuan politisi dan
akademisi serta organisasi swadaya itu bertujuan mencari solusi bagaimana
caranya meningkatkan peranan perempuan dalam bidang politik, bidang yang secara
tradisional dikuasaii kaum laki-laki.
Seorang politisi sekaligus ilmuwan
wanita dari Bangladesh, Rounaq Johan mengatakan bahwa dari seluruh perempuan
yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai
anggota parlemen. Sementara yang beroleh jabatan anggota kabinet (menteri)
hanya 4%. Di Asia, tercatat hanya 6 perempuan yang (pernah) berhasil merebut
posisi kepala negara, yakni Indira Gandhi di India, Sirimaaro Bandaranaike di
Srilangka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaleda Zia di Banglades, Corazon Aquino
di Filipins dan Megawati Soekarno Putri di Indonesia
Arbi Sanit menyatakan meski secara
kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria,
perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara
kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan
menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini
mengungkapkan data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen. Di DPR porsi
wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada
tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982.
Data tahun 1993 mengenai posisi
(politik) strategis di indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas.
Misalnya Dari 22 duta besar, Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon
I dan II departemen, wanitanya hanya 5,5 %.
Penelitian Republika menunjukkan
bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor
kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos
bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita
berkompetisi dengan pria dalam dunia politik.
Sedangkan faktor struktural adalah
adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang
responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala
oleh kurangnya dukungan pemerintah. Dengan demikian apakah Kantor Meneg Pemberdayaan
Perempuan kurang efektif menjalankan fungsinya ? Namun aspirasi mereka ini
ditentang oleh 60 orang responden (57,7%). Alasan mereka dengan
mendepartemenkan Pemberdayaan Peranan Perempuan berarti adalah (1) karena banyak urusan sudah
ditangani oleh departemen lain secara terpisah; (2) non departemen sudah cukup
karena tuntutannya memang hanya memberikan arah kebijakan saja; (3) bukan
prioritas untuk mengatasi diskriminasi terhadap wanita.
Roekmini Soejono melihat bahwa
kecenderungan wanita-wanita yang terjun dalam bidang politik belum sepenuhnya
memberikan akses untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita. Hal ini
disebabkan karena para wanita terjebak dengan budaya politik yang berlaku
disamping hanya mementingkan masalah peranannya.
Kursi Parlemen dan Perempuan
Litbang Republika telah mengadakan
penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD
(yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap
pemberdayaan politik wanita. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa
keterwakilan wanita dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak
lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari
total penduduk Indonesia.
Kedudukan mereka dalam badan
legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan
dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan
diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak
tahu Konvensi PBB tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik
Indonesia telah meratifikasinya.
Hal serupa terjadi di NTB dengan
permasalahan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) terbanyak di
Indonesia. Parlemen daerah di Udayana hanya memberikan Ruang kecil untuk kaum
wanita, dari 55 Anggota DPRD Provinsi NTB hanya terdapat 3 orang perampuan
yaitu : Dra. Endang Yuliati (PDIP), Istiningsih, S.Ag (PKS) dan Hj. Lale
Suryatni Marzuki (Golkar).
Kita dapat membayangkan dengan
kemampuan kompetensi politik dan kuantitas yang rendah dan alat kelengkapan
dewan berupa Komisi, Panmus, Panggar serta badan kehormatan. Bisakah mereka
optimal memerankan fungsi merekan sebagai ujung tombak pembelaan dan
memperjuangkan kepentingan perempuan Nusa Tenggara Barat? Padahal keberadaan
perempuan diparlemen sangat urgen dalam memperjuangkan kaumya seperti yang
telah dijamin dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Republik ini.
Urgensi parlemen bagai perempuan
seperti legislasi: terhadap
pembuatan peraturang yang dapat melindungi kaum perempuan yang selama ini
sangat minim bahkan selalu dilanggar dengan besar-besaran, Anggaran: Kaum perempuan parlemen dapat memperjuangkan anggaran
yang memadai untuk melakukan pemberdayaan perempuan di segala dimensi kehidupan
sehingga kedepan perempuan Indonesia memiliki kompetensi yang tinggi untuk memperbanyak
diri di ruang parlemen, Pengawasan:
Anggota legislatif perempuan dapat mengawasi kebijakan pemerintah yang
senantiasa mendiskreditkan kaum perempuan yang menjadi penghuni mayoritas ibu
pertiwi.
Agenda Mahasiswi Kedepan
Kesadaran yang perlu dihadirkan dalam setiap diri
perempuan bangsa ini sejak dini adalah bahwa yang akan konsisten untuk
memperjuangkan kaumnya secara maksimal adalah kaum perempuan itu sendiri.
Sehingga Gerakan Mahasiswi sebagai benteng aspirasi rakyat kedepan, mulai hari
ini,secara khusus memiliki beberapa tujuan pokok berkenaan dengan perempuan,
yaitu:
³ Mengembalikan kedudukan perempuan sebagai hamba Allah yang sederajat dengan
lelaki, dan memuliakan martabatnya dengan hak dan kewajiban yang seimbang.
³ Meletakkan aturan tentang relasi lelaki dan perempuan untuk menjaga
eksistensi perempuan dari eksploitasi hawa nafsu manusia dan masyarakatnya.
³ Memberikan ruang dan jalan bagi perempuan untuk menjadi unsur kekuatan perubahan
dan pelaksana perubahan – bersama kaum lelaki - dalam mewujudkan tujuan-tujuan
Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat.
Dalam konteks ini, aktualisasi peran politik perempuan
dalam perubahan bisa dirumuskan:
1. Ikut serta melakukan penyadaran politik rakyat, dengan:
a.
Melakukan
pendidikan politik dalam keluarga
b.
Melakukan
aktivitas pengajaran kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban politik
sebagai warga.
c.
Melakukan
aktivitas pencerahan untuk mengembalikan loyalitas kebangsaan agar telepas dari
intervensi asing .
2.
Ikut
serta dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, dengan:
a.
Aktif
memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat, khususnya kaum perempuan dari
penguasa.
b. Melakukan kritik terhadap perilaku dan kebijakan kekuasaan.
3. Ikut serta dalam proses pembangunan kehidupan politik yang santun, dengan:
a. Terlibat dalam pemberdayaan berbagai institusi kemasyarakatan, khususnya
institusi sosial-politik.
b. Berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis, dan menjalankan peran-peran
kepemimpinan politik.
4. Berperan aktif dalam pengelolaan opini umum yang benar, dengan:
a. Aktif menyebarluaskan pemikiran dan pandangan politik yang sehat ke
masyarakat.
b. Aktif melakukan pencegahan opini negatif dan melakukan serangan-balik (counter)
opini.
Selain itu ada
tujuh RUU yang selayaknya menjadi perhatian
DPR dalam jangka pendek yang harus dikawal baik dalam tataran pembahasan hingga
pengesahan dan dalam ranah aplikasi setelah di tetapkan, yaitu:
1. RUU Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Belum ada aturan khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Aturan
yang ada tidak efektif dalam menjerat
pelaku perdagangan orang. Kebutuhan
akan peraturan mengenai hal ini semakin mendesak mengingat jumlah
korban,
terutama perempuan dan anak, yang diperdagangkan semakin bertambah dan
modusnya
pun semakin beragam. Peningkatan kasus tersebut semakin tajam
setelah krisis ekonomi dan dalam berbagai wilayah di Indonesia yang terkena
bencana alam.
2. RUU Pornografi dan
Pornoaksi
Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai
isu
kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai pornografi sangat signifikan
berkaitan dengan
kasus-kasus kekerasan yang terjadi akibat akses yang sangat
terbuka bagi produk pornografi, terutama bagi anak-anak, serta
produk-produk
pornografi yang mengandung unsur kekerasan dan perendahan martabat
perempuan. Dampaknya, munculnya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak
seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan. Selain
itu permasalahan pornografi juga perlu dilihat dari segi kepentingan bisnis para produsen dan distributor produk
pornografi. Perempuan dan anak-anak yang
terlibat dalam pornografi harus ditempatkan sebagai korban, dan bukannya
pelaku yang dikriminalisasi. Hak-hak mereka perlu dilindungi sesuai
dengan
Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Perdagangan Orang dan
Eksploitasi Pelacuran.
3. RUU Perlindungan Saksi
Belum ada aturan khusus mengenai
perlindungan saksi, termasuk perempuan dan anak yang menjadi saksi
korban. Mereka merupakan target kekerasan atau balas
dendam dari si pelaku. Perlindungan tersebut diantaranya adalah memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma,
ruang tunggu khusus dan hak khusus
bersaksi lewat teleconference karena kondisinya yang tidak mampu bersaksi di Pengadilan. Akibat dari
ketiadaan aturan mengenai ini, seringkali kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dapat diproses secara tuntas.
4. Amandemen UU Kesehatan
UU
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 belum mengatur pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan.
Hal ini berdampak bagi rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang- undangan yang ada juga belum melindungi hak
reproduksi perempuan, misalnya perempuan
yang menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami/pasangannya.
5. Amandemen UU Perkawinan
Beberapa permasalahan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
Melegitimasi subordinasi suami terhadap istri. Tidak ada pengakuan
terhadap fakta dalam masyarakat
yaitu terhadap para istri yang secara nyata menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga. Dampaknya, pembatasan peluang perempuan terhadap akses sumber daya
ekonomi dan sosial. Subordinasi ini juga
mempersulit posisi istri untuk keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga. Memberikan batas usia nikah bagi
perempuan yang terlalu dini, yaitu 16 tahun.
Ini menjadi salah satu penyebab tingkat kematian ibu karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
Masih mengakui hak istimewa suami untuk menikahi lebih dari satu
perempuan, di mana alasan-alasan yang
mendasarinya justru merupakan bentuk penelantaran
terhadap istri (yang sakit berat atau tidak mampu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah
satu penyebab munculnya kekerasan dalam rumah
tangga terhadap istri dan anak-anak.
Hanya mengakui hubungan keperdataan anak yang lahir di luar perkawinan dengan pihak ibu saja, tidak dengan
pihak ayah. Akibatnya, hak anak untuk memperoleh
pengasuhan dari kedua orangtuanya dan dalam memperoleh warisan serta akta kelahiran tidak
terpenuhi. Tidak mengatur secara tegas kewajiban suami atau pihak
pengadilan untuk memberikan nafkah
bagi istri dan anak-anak setelah perceraian.
6. Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur
aspek pidana, hukum acara, pencegahan,
perlindungan serta kompensasi korban yang
secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Selain itu,
mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup
semua bentuk kekerasan yang dialami
perempuan.
7. RUU Kewarganegaraan dan
RUU Keimigrasian
Aturan mengenai kewarganegaraan dan keimigrasian yang ada belum memenuhi
hak-hak perempuan dan anak, terutama pada perkawinan yang dilakukan
antara
laki-laki dan perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda.
Aturan
yang ada masih mendiskriminasikan hak-hak perempuan dan anak hasil
perkawinan antar bangsa untuk memperoleh kewarganegaraan dan hak untuk
berkumpul sebagai keluarga, misalnya hanya pihak bapak yang melakukan
penentuan kewarganegaran anak, istri/ibu WNA harus disponsori oleh
suaminya
agar memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan
bila
disponsori oleh suaminya ia tidak boleh bekerja, dll.
Selain itu dalam Renstrada
NTB Tahun 2003 - 2008 memuat program-program dan kegiatan pokok yang memiliki
daya ungkit tinggi dalam pencapaian tujuan pembangunan untuk mengatasi tiga isu
strategis, yaitu:
a. Peningkatan
penanggulangan kemiskinan;
b. Peningkatan
derajat kesehatan;
c. Peningkatan
kualitas pendidikan;
Kemudian dijabarkan
menjadi beberapa isu strategis :
• Rendahnya Pendapatan Per Kapita dan Rendahnya Akses ke Sumber Modal;
• Rendahnya Rata-Rata Tingkat Pendidikan Penduduk;
• Rendahnya Derajat
Kesehatan Masyarakat;
• Lemahnya Komunikasi dan Interaksi Sosial;
• Belum Optimalnya Pemanfaatan dan Pengelolaan SDA dan LH;
•
Lemahnya Penegakan Hukum;
• Lemahnya Penerapan Iptek Termasuk Akses, Kualitas Maupun Sistem Informasi;
• Penyelenggaraan Pemerintahan Kurang Berorientasi Pelayanan Publik;
• Lemahnya Komunikasi dan Kordinasi Internal Pemerintah Provinsi Maupun Antar
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
IWAN Wahyudi*
*
Staff Departemen Kajian dan Strategi KAMMI Daerah NTB, Ketua BEM Unram
2004-2005
Disampaikan dalam Kajian Populer “Peranan Perempuan Dalam Mengusung
Perubahan” BEM Universitas Mataram
Aula PKM
Unram, 6 Oktober 2006
PEREMPUAN DAN PARLEMEN ANTARA KEPENTINGAN, HARAPAN DAN RUH PERJUANGAN YANG TERLUPAKAN
4/
5
Oleh
Iwan Wahyudi Net